“Eh, ini … bukannya yang kita denger tadi, ya?” seloroh Arga.
“Kapan? Denger apa?” sambar Sanja. “Kalian ada denger sesuatu tapi nggak bilang ke kami?”
Indra menyikut Arga dan menatapnya tajam. Arga tertawa dan menggaruk belakang kepalanya dengan canggung. Akhirnya, di bawah tatapan menuduh Arum dan Sanja, Indra menghela napas dan menjelaskan.
“Kami tadi ada denger bunyi musik, tapi pas dicari sumbernya nggak ketemu-ketemu. Kami sengaja nggak bilang supaya kalian nggak panik, soalnya kita nggak tau itu bunyinya beneran atau enggak,” katanya.
“Lain kali jangan gitu, ya?” sahut Arum. “Kita kan datang berempat, pulang berempat, jadi jangan sampai ada yang seenaknya nyembunyiin informasi, apa pun itu. Kan kalo kami tau, masalahnya bisa dipecahin bareng-bareng.”
Indra dan Arga bertukar pandang. Mereka lalu menoleh bersama ke arah Sanja.
“Aku nggak mau ngomel, deh. Kasian kalian mukanya udah kayak anak anjing habis diomelin Arum,” ucapnya sambil menghela napas. “Yang penting jangan ada yang main rahasia-rahasiaan lagi!”
“Iya, maaf, nggak lagi-lagi, deh,” kata Arga. Indra mengangguk mengiyakan.
“Eh, anak tadi mana?” tanya Arum.
“Lho, tadi dia udah lari begitu kita sampai,” jawab Arga.
Indra mengamati orang-orang yang berkerumun itu. “Ini … orang beneran kan, ya? Mending kita tanya salah satu dari mereka, siapa tau ada yang bisa ngarahin kita balik ke jalan pendakian.”
“Boleh … siapa yang mau tanya?” tanya Arum.
“Ketua, lah, ketua!” seru Sanja. “Kami dukung dari belakang aja.”
“Jadi ketua bukannya dapat privilege, malah ditumbalin,” gerutu Indra. Namun, lalu ia mengangguk. “Oke, biar aku yang tanya, tapi kalian tetap ikut. Kalo ada apa-apa, jangan ada yang saling tinggal.”
Ketiga temannya pun mengikuti Indra mendekati salah satu orang dalam kerumunan, seorang wanita dengan balita dalam gendongan.
“Permisi,” sapa Indra sambil mengangguk sopan. “Kalau boleh tahu, ini sedang ada apa, ya?”
Wanita itu mengerjap beberapa kali dan menatap mereka satu per satu dengan penasaran. “Kalian bukan dari sini, ya?” ia balas bertanya.
“Bukan, kami….” Indra menjeda sejenak dan menoleh ke arah teman-temannya untuk mencari kata-kata. “Kami … pelancong?”
Untungnya, wanita itu mengangguk merespons jawaban Indra. “Ooh, iya iya! Orang jauh, ya?”
Indra memasang senyumnya yang paling ramah. “Iya, betul. Kami baru sampai di sini. Ini sedang ada acara, ya?” tanyanya.
“Iya. Ini kami sedang merayakan panen ikan Temenggung Marubai dan Bujang Beji dengan musik dan tarian,” jelas wanita itu.
“Oh–” Indra baru hendak menyahut dengan kening berkerut bingung ketika perkataannya terpotong Arum dan Sanja yang terkesiap kaget. Indra dan Arga langsung menoleh ke arah gadis itu.
“Eh, kalian kenapa?” tanya Arga.
Sanja melirik sekeliling sebelum menarik lengan Indra dan Arga supaya mereka mendekat. “Itu … kan sebelum kita ke sini, aku ada tanya Arum tentang cerita rakyat yang mau kita bahas di tugas kita….”
Kerut di kening Indra semakin dalam. Ia setengah menerka ke mana perkataan Sanja mengarah. “Bentar, maksudnya…?”
“Nama tokoh-tokoh ceritanya itu Temenggung Marubai dan Bujang Beji,” timpal Arum sambil menggigit kukunya gelisah. “Warga di sekitar Bukit Kelam memang punya pementasan tari yang menceritakan kisah ini – awalnya aku mau usul ke kalian buat nonton bareng – tapi … tapi apa maksudnya ‘merayakan panen ikan mereka’?”
“Buset, jangan bilang kita nyasar ke sekte sesat?” seloroh Arga.
“Hus!” ketiga temannya bergegas menegur.
“Jaga mulut, Ga, seenggaknya jangan keras-keras,” omel Sanja.
“Ya, lagian….”
Indra segera berbalik kembali kepada wanita tadi dan bertanya, “Maaf Bu, maksudnya apa ya merayakan panen ikan Temenggung Marubai dan Bujang Beji?”