Arum terkesiap. Wajahnya jadi seputih kertas. Ketiga temannya menoleh panik. “Ini ada di ceritanya, aku baru ingat,” katanya dengan suara bergetar. “Bujang Beji meracuni sungai supaya bisa dapat lebih banyak ikan!”
“P3K! Kita semua bawa, kan? Kita tolong mereka sebisanya, ayo!” Indra mengomando.
“Tapi … bisa jadi mereka bukan orang beneran, kan…?” tanya Sanja, meski ia merasa bersalah juga bertanya demikian.
“Tetap aja! Kita nggak boleh biarin mereka kesakitan begini!” jawab Indra. “Sanja, kamu jauhkan orang-orang yang ada di dekat sungai. Arga, kamu bantu aku bawa orang-orang yang nggak bisa berdiri ke rumah yang terasnya paling luas. Arum, kamu kumpulkan orang-orang yang masih sehat di satu tempat, jauhkan dari sungai juga!”
Di bawah aba-aba sigap Indra, mereka semua bergegas membantu warga desa yang keracunan. Perlengkapan P3K yang mereka bawa hanya berisi obat-obatan standar, tetapi mereka berusaha sebisa mungkin untuk melemahkan efek entah-racun-apa yang telah dimasukkan Bujang Beji ke dalam sungai. Di sungai, ratusan ikan-ikan mengapung ke permukaan dengan tubuh terbalik.
Setelah lewat empat jam penuh kepanikan, akhirnya keempat sahabat itu terduduk bersama-sama, saling bersandar dan mencoba menstabilkan napas.
“Semoga nggak ada yang kenapa-napa,” kata Arum. “Kita nggak bisa bantu lebih jauh.”
Indra menggigit bibir. “Yang penting … kita sudah berusaha.”
“Rum, ini kelanjutan ceritanya gimana? Bisa gawat kalau si Bujang itu bikin masalah lagi,” tanya Arga.
“Seharusnya sih, habis ini Bujang Beji bakal pamer kalau ikan yang dia tangkap lebih banyak daripada Temenggung Marubai,” jawab Arum. “Tapi karena dia menangkap ikan-ikan itu dengan racun, lama kelamaan jumlah ikan di sungainya malah berkurang banyak.”
“Oke, jadi buat sementara ini dia nggak bakal … entahlah, tiba-tiba ngeledakin sungai atau apa, kan?” tanya Indra. “Kita bantu saja warga desa sampai kejadian berikutnya terjadi.”
Dengan itu, mereka pun jatuh ke dalam keheningan. Tiba-tiba, terdengar bunyi perut berkeruyuk.
“Aku baru ingat kita belum makan apa-apa dari siang,” kata Sanja dengan wajah sedikit bersemu. “Bikin mi instan, yuk?”
“Mi terooos,” sahut Arga. “Gaslah, yuk kita makan dulu. Pake telur mantap, nih.”
Mereka pun beranjak ke tempat mereka meletakkan barang-barang dan mulai mengeluarkan peralatan untuk memasak mi. Menemani mereka memasak dan makan, angin yang berhembus sepoi-sepoi perlahan menyingkirkan awan dari langit yang kian menggelap. Beberapa warga yang kasus keracunannya tidak terlalu parah terlihat bangkit berdiri. Indra segera memberitahu mereka tentang apa yang terjadi, lalu kembali bergabung dengan teman-temannya.
“Berarti logikanya kalau cerita ini selesai, kita pulang, ya?” tanya Arum.
“Semestinya sih gitu, ya,” sahut Indra. “Semoga aja bener.”
Arum memandang ke sekeliling. “Desa ini posisinya dekat banget ke Bukit Kelam ya, kalau gunungnya masih ada di sini,” komentarnya. Keningnya berkerut. “Apa jangan-jangan….”
“Menurutmu kita harus nyelamatin orang-orang ini dari ulahnya si Bujang itu?” tanya Arga. “Kayak tadi, kita bantu mereka dari keracunan, kan? Apa nanti kita bakal harus bantu mereka lagi?”
“Mungkin…,” gumam Arum. "Tapi mungkin juga enggak. Kayaknya ekstrim banget nggak sih?"
“Udah, pikirin besok aja! Hari ini kita udah capek banget, kan?” potong Sanja. “Tuh liat, Indra aja udah nggelar kantong tidur. Yuk!”
Arga menguap lebar. “Iya, deh. Mending kita tidur dulu. Daripada besok migrain.”
Mereka pun beranjak menghampiri Indra dan ikut menggelar perlengkapan tidur mereka di area yang sama. Salah seorang warga menghampiri mereka dan menawarkan rumahnya untuk dijadikan tempat menginap, tetapi Indra dengan sopan menolak.
“Saya di luar aja, Pak,” katanya. Ia menoleh kepada yang lain. “Tapi kalau kalian berubah pikiran, mau tidur di dalem juga nggak apa-apa. Kayaknya kita bakal agak lama juga di sini.”
Arga menolak. “Nggak, thanks, aku mau ngerasain tidur sambil ngeliat langit.”
“Iya deh, si paling tidur di bawah langit,” Sanja mencerca. “Tapi aku juga di sini aja tidurnya. Eh, tergantung Arum, deh. Kalo Arum di luar aku juga di luar.”
“Aku di luar aja,” sahut Arum.
Hening menyergap ketika mereka semua telah merebahkan diri di kantung tidur masing-masing. Wajah Arga diterangi cahaya dari layar HP-nya, Indra sibuk mengutak-atik ristleting kantung tidurnya, Sanja menggerutu pelan karena dikerumuni nyamuk dan merogoh saku jaket mencari lotion anti nyamuk, dan Arum berbaring lurus menghadap langit malam yang bertabur bintang di atas mereka.
“Kira-kira di luar sana kita lenyap udah berapa lama, ya?” tanyanya. Ketiga temannya memberhentikan aktivitas masing-masing, semua perhatian teralih padanya. “Pak Hanif apa udah sibuk nyari-nyari kita?”
Indra menghela napas. “Semoga aja ini kayak di film-film, jadi kita beberapa hari di sini tapi di dunia kita baru beberapa jam. Aku nggak mau bikin panik Pak Hanif dan ngerepotin lebih banyak orang.”
Malam semakin larut. Sanja tertidur duluan, disusul Indra. Arga akhirnya mematikan HP dan berguling ke samping. Arum menghela napas dan memejamkan mata. Tak lama kemudian, yang terdengar dari keempatnya hanyalah suara tarikan dan hembusan napas dalam.
***
Getaran seperti gempa bumi membangunkan mereka semua. Dengan grogi, keempat sahabat itu bangkit terduduk untuk menghindari silau matahari jam sembilan. Getaran tak kunjung berhenti, malah terdengar semakin dekat.
Arga menguap lebar sampai rahangnya berbunyi. “Aduh, itu si Bujang? Pagi banget udah bikin ribut!” keluhnya.
“Shh! Jangan keras-keras!” tegur Indra. Ia menyipitkan mata ke arah sosok raksasa yang mendekat itu. “Mau apa dia kemari?”