“Buset,” kata Arga dengan mulut ternganga. “Pantesan ada yang bilang itu meteor.”
“Bukit Kelam…,” gumam Arum terpana.
Bujang Beji masih berjingkrak-jingkrak kesakitan, memegang kakinya yang terluka. Ketika ia bisa berdiri dengan tegak lagi, dicobanya untuk mengangkat kembali batu yang jatuh itu. Ia gagal. Dicobanya sekali lagi, menggunakan sebuah batu lain untuk mencongkel Bukit Kelam dari tanah. Lagi-lagi, ia gagal. Batu yang ia gunakan justru pecah berkeping-keping.
Jauh di langit, para bidadari semakin keras menertawai nasib raksasa itu. Dengan tangan bersimbah darahnya sendiri, Bujang Beji menunjuk ke langit.
“Diam kalian semua! Akan kubalas perbuatan kalian! Aku akan naik ke atas sana, biar kalian tahu rasa!” ancamnya. Para bidadari hanya menyeringai dan saling bertukar pandang.
“Coba saja,” kata salah satu bidadari sambil mengerjapkan bulu matanya yang lentik. “Seorang raksasa biasa ingin naik untuk balas dendam kepada kami? Aduhai, aku sudah bisa meramal bahwa kisah hidupmu hanya akan diingat sebagai pesan moral belaka.” Perkataannya itu memancing tawa saudari-saudarinya.
Langit yang gelap akhirnya mulai menghamburkan gerimis. Bujang Beji pun pergi meninggalkan tempat itu dengan langkah terseok-seok dan kaki yang sedikit pincang. Sorot matanya penuh dengan amarah yang membara. Ia melangkah ke dalam hutan hingga akhirnya lenyap ditelan kabut dan kegelapan.
Dengan keadaan yang masih kaget setengah mati, keempat sahabat tersebut bangkit dari tanah dengan kaki yang gemetar. Kejadian tadi masih terbayang-bayang di benak mereka seperti mimpi buruk.
“Ini nggak cuma aku kan yang masih nggak loading ngeliat batu tadi hampir ngehancurin seluruh tempat ini?” tanya Arga.
Arum terduduk kembali ke tanah. “Kalo menurut legenda orang-orang, seharusnya cerita Bujang Beji berakhir di sini. Tapi kayaknya masih ada kelanjutannya,” katanya.
“Jadi, bakal ada sesuatu lain lagi yang terjadi?” tanya Indra.
“Buktinya kita belum pulang.”
“Benar juga.”
Seorang warga desa menghampiri mereka dan mengajak untuk berteduh di rumahnya untuk malam ini. “Berkemah di sini waktu hujan bisa bahaya,” katanya. “Dekat sungai.”
“Gimana, kalian mau nggak?” tanya Indra pada teman-temannya.