Misteri Pendakian Bukit Kelam

Aisya A. A.
Chapter #8

Epilog

Nenek Anggit menyaksikan tubuh Bujang Beji sang raksasa sakti dilumat habis oleh para beruang dan rayap. Di sebelahnya, para muda-mudi tanpa asal-usul itu juga menonton dengan ngeri. 

Ia menepuk bahu pemuda yang tepat berdiri di sampingnya. “Kamu dan teman-temanmu sudah boleh pulang. Kembalilah ke tempat kalian pertama tersesat,” ucapnya. 

Muda-mudi itu saling tatap. 

“Kita balik ke Bukit Kelam, nih? Gunungnya kan udah balik, tuh,” kata gadis yang kerap memegang alat aneh dengan mata hitam. 

“Kayaknya iya,” kata si pemuda. Ia lalu menoleh kepada Nenek Anggit. “Terima kasih, Nek.”

“Jangan lupa tentang apa-apa saja yang kalian sudah saksikan di sini,” kata Nenek Anggit sebelum cucunya menarik tangannya agar masuk ke dalam rumah. 

***

Indra, Arum, Sanja, dan Arga kembali ke dalam rumah untuk membereskan barang-barang mereka. Warga yang menampung mereka menawarkan sarapan yang tidak mereka tolak. Begitu matahari sudah naik ke posisi jam delapan, keempatnya pun bertolak ke Bukit Kelam. 

Pendakian telah berlalu setengah jalan ketika Indra menangkap sesuatu berwarna merah dari sudut matanya. Ia memberi isyarat berhenti dan menghampiri sebuah pohon. Mata melebar. 

Guys, ini tali rafia yang aku iket buat nandain jalan kita!” serunya. 

“Jam kita juga udah jalan semua!” seru Arum, diiringi anggukan Sanja dan Arga. “Masih tanggal yang sama dengan waktu kita pertama naik, berarti kita nggak hilang lama di dunia nyata.”

“Oke, berarti kita udah beneran balik,” kata Indra. “Jadi gimana, kita turun lagi, nih?” 

“Sayang nggak, sih? Harusnya kita sekarang udah aman, kan, karena ceritanya udah selesai?” tanya Sanja. “Gimana kalo kita lanjut ke puncak? Udah sejauh ini, mending sempatin liat pemandangan nggak, sih?” 

 “Lagian, harusnya sebentar lagi Pak Hanif nyusul kita, kan?” kata Arum. “Nanti beliau tanya kita kenapa kita malah turun. Repot lagi ngejelasinnya.”

“Aku sih, oke-oke aja kalo kita semua masih mau lanjut,” kata Indra. “Ga, gimana?”

“Ngikut aja mah, aku,” kata Arga. 

“Oke, kita cek logistik dan samain jam dulu, baru cus.”

Mereka menyelesaikan semua itu dan lanjut mendaki sambil sesekali memastikan bahwa mereka tidak hanya berputar-putar di tempat yang sama atau kembali disesatkan ke lokasi misterius lainnya. 

Guys, hitung dulu! Satu!” seru Indra. 

“Dua!”

“Tiga!”

“Empat!”

“Lima….” 

Arga mendengkus. “Iya, iya, terserah deh,” ucapnya pelan. “Yang penting bukan raksasa.”

Lihat selengkapnya