“Liburan yang menyenangkaaan ...!” teriak Akhtar sambil merentangkan kedua tangan. Dia dan kedua sepupunya, Razif dan Nesya, sedang berada di atas perahu yang membawa mereka menemui Om Rama yang sudah menunggu di pulau miliknya yang indah.
“Itu pulau Om Rama!” seru Razif riang. Dia pernah diajak oleh Om Rama ke sana.
“Apa tidak salah kalian pernah ke sana?” tanya Pak Obing, pengemudi perahu, kaget, “pulau itu terlihat sepi sekali!”
“Tidak salah, kok, Pak ... seratus persen benar, hehehe ....” Nesya tertawa sambil mengacungkan jempol.
Perahu pun merapat ke dermaga. Razif, Akhtar, dan Nesya meloncat dari kapal dengan gembira.
“Terima kasih, Pak Obing ... sampai jumpa lagiii ...!” seru Razif, Akhtar, dan Nesya sambil melambaikan tangan.
“Om Rama menunggu di mana, ya?” tanya Nesya bingung. Om Rama telah berjanji akan menunggu di dermaga.
Tiba-tiba, tampaklah kabut tebal mengambang bergumpal-gumpal di atas mereka. Langit siang yang tadinya cerah mendadak menjadi hitam.
Nah, Teman-Teman, mengapa langit yang tadinya cerah berubah menjadi hitam?
“Cepaaat! Kita ke puri itu!” seru Akhtar sambil menarik lengan Nesya. Razif menyusul di belakang mereka.
Dalam hitungan lima menit, mereka sudah berdiri di depan pintu puri. Namun, keadaan di sekeliling mereka mendadak jadi semakin gelap gulita.
“Kita masuk ke dalam puri saja, mungkin di dalam lebih terang,” ujar Razif.
Dia mulai meraba-raba untuk mencari daun pintu dan berusaha membukanya.
Diiitttdiiitttdiiittt ...! Terdengar suara aneh dari daun pintu yang diikuti dengan pertanyaan. Kode rahasia, “Mengapa semua menjadi gelap?”
“Terjadinya gelap karena tidak ada cahaya, kan?” desis Nesya ragu.
“Benar! Tidak adanya cahaya yang terpancar di sini, membuat keadaan di sekeliling kita menjadi gelap. Tanpa cahaya, kita tidak bisa melihat benda-benda di sekeliling kita!” seru Akhtar.
Krrreeekkk ...! Daun pintu itu berputar dan pintu pun terkuak.
“Jawaban kita benar!” seru Nesya gembira.
Tampak ada sebatang lilin yang menyala di sudut ruangan. Akhtar melangkah dengan cepat dan meraih lilin yang terpasang di dalam mangkuk perak kecil itu.
“Ada kertas menempel di mangkuk perak itu,” bisik Nesya. Dia pun mengambil kertas itu dan mendekatkannya ke arah api lilin.
Di kertas itu tertulis, “Api lilin merupakan salah satu sumber cahaya. Mata kita bisa melihat sebuah benda karena ada sinar datang dari benda itu dan sinar itu masuk ke mata kita.”
Akhtar segera mengangkat lilin dan membawanya ke sekeliling ruangan.
“Wuaahh ...! Ada beberapa kertas yang menempel di dinding. Sepertinya, di setiap kertas itu ada pertanyaan yang harus kita jawab,” cetus Akhtar.
Di salah satu kertas tertulis, “Dinding puri ini berwarna merah. Tahukah kalian bagaimana proses terlihatnya warna?”
Razif mengerjapkan mata ....
“Tentu saja, kita bisa melihat warna suatu benda karena cahaya yang menimpa benda itu dipantulkan ke retina mata kita,” ujar Razif lantang.
Blaaassss ...! Tiba-tiba saja, sekeliling ruangan itu menjadi terang benderang. Cahaya yang terang itu berasal dari sebuah lampu antik besar yang tergantung di tengah-tengah plafon.
“Puri ini sungguh aneh! Jangan-jangan, ini bukan pulau Om Rama!” kata Razif yang tampak tercekat. Nesya dan Akhtar terlihat terbelalak ngeri.
“Kita keluar saja!” ajak Nesya yang segera berlari ke arah pintu masuk dan memutar daun pintu.
Tapi, mendadak terdengar suara dari daun pintu, diiitttdiiittt ...! “Ini pintu masuk, carilah pintu keluar puri!”