MISTERI RUMAH BAMBU DI BUKIT WINGIT

Embart nugroho
Chapter #8

AYAH RIO IKUT MEMBANTAI

Rio terbangun ketika matahari sudah meninggi. Ia mengucek matanya dan melihat sekeliling. Ia melihat semak belukar dan puing-puing bambu yang berserakan. Ia bingung berada di mana. Ia mengamati sekililing dan dan berusaha mengingat tempat itu. Rumah bambu, ya rumah bambu yang ada di sudut tepi sawah. Rio terkejut dan buru-buru bangkit dari tempat itu. Ia berlari ketika melihat motornya di ujung jalan. Langkahnya tertatih dan tubuhnya terasa sangat sakit seperti dipotong-potong. Rio langsung saja menyalakan motornya ketika sampai di tepi jalan. Ia langsung tancap gas karena ketakutan. Jalanan yang berbatu membuat sepeda motornya beberapa kali oleng. Ia bingung mengapa bisa berada di rumah bambu itu. Tak ada seorang petani pun yang dijumpai berada di persawahan. Entah kemana para petani pagi itu. Rio bergidik mana kala melihat rumah bambu itu dari kejauhan. Rumah itu memang kelihatan angker.

Sesampainya di rumah, Rio hanya diam tidak berani menceritakan apa yang terjadi. Ia memarkirkan motornya begitu saja dan masuk ke rumah. Ibu yang melihat wajah Rio menjadi heran. Wajah Rio tampak sangat ketakutan.

“Kamu dari mana, Rio? Kok gak pulang tadi malam? Apa kamu nginap di rumah pamanmu?” tanya ibu. Rio tidak menjawab dan langsung ke masuk kamar. Ia meringkuk di tempat tidur dan masih terbayang kengerian yang ia lihat malam itu. Ia ketakutan ketika melihat kilas balik kejadian pembunuhan itu yang ia lihat dalam benaknya ketika memejamkan mata.

Malam itu ada seorang laki-laki yang baru saja pulang dari pekerjaannya sebagai buru. Kemudian laki-laki itu melihat seekor kambing yang berkeliaran di rumah warga. Ia ingin mengembalikan kambing itu ke pemiliknya, tapi seorang laki-laki berkulit kecokletan meneriakinya maling. Laki-laki itu pun panik ketika warga mendengar teriakan itu dan langsung menangkapnya. Mereka memukuli laki-laki itu sampai babak belur. Laki-laki itu berteriak kalai dia bukan maling, tapi laki-laki hitam berbadan legam langsung saja memberi bogeman mentah hingga bibirnya pecah.

“Ampun .... saya tidak mencuri. Saya mau mengembalikan kambing ini,” ucapnya.

Bukkk! Berkali-kali pukulan mendarat di dada dan perutnya. Padahal sejak siang tadi ia belum makan sebutir nasi pun. Warga terus saja bersorak menghakimi laki-laki itu. Hampir semua warga melihat keganasan mereka. Meneriaki laki-laki berbaju lusuh dengan kata-kata maling.

Pelipis mata laki-laki itu pun robek ketika seseorang menghajarnya. Darah meleleh di matanya. Pandangannya terasa nanar dan ia menahan sakit luar biasa. Tidak ada ampun baginya. Beberapa laki-laki pun menyeretnya, melumatkan puntung rokok pada wajah dan dadanya. Kemudian mereka mengangkat laki-laki itu serta membentur kan kepalanya ke tembok batu. Kepala itu mengeluarkan darah dan laki-laki itu berkelojotan menahan sakin yang luar biasa. Teriakan nya tidak didengar mereka. Tidak ada belas kasih kepadanya. Kejih. Mereka sangat kejih. Sementara istri dan kedua anaknya sedang menunggu dirinya di rumah. Rumah bambu yang mereka miliki. Kedua anaknya pasti sangat kelaparan.

Tidak sampai disitu, laki-laki malang itu pun akhirnya dibakar masa. Tubuhnya hangus, perutnya pecah dan mengeluarkan usus yang menuntai ke bawah. Aroma daging panggang menyeruak di seluruh desa. Mereka memberarkan mayat itu tergeletak begitu saja.

Rio tercekat ketika mengingat hal itu. Ia tampak ketakutan dan berusaha melupakan kejadian itu. Ia sangat terkejut ketika melihat laki-laki yang menuduh maling adalah bapaknya. Bapaknya lah yang lebih antusia meneriaki maling dan antusias membunuh laki-laki itu.

“Bapak ....” pekiknya tertahan.

“Rio ....” panggil ibu dari luar. “Ayo sarapan. Ibu sudah masak enak nih.”

Rio tidak menyahut. Ibu yang berada di depan pintu kamar Rio megerutkan keningnya, kemudian kembali ke ruang makan. Bapak sudah lahap menyantap sarapan paginya. Rio tidak bisa cerita apa-apa hari ini. Ia mendekam di kamar sampai siang.

Lihat selengkapnya