Surya belum juga sembuh. Wajahnya semakin pucat dan bibirnya membiru. Lebam di lehernya semakin menghitam. Mama semakin khawatir dan langsung saja mengajak papa untuk kembali ke rumah ustad Tolib. Surya beberapa kali muntah darah. Lehernya seperti tercekik dan kondisinya sangat memprihatinkan. Mama yang merasa keanehan dalam diri Surya menanyakan apa yang terjadi sebenarnya saat mereka liburan, namun Surya susah untuk berbicara. Matanya yang semakin sayu seperti tidak memiliki gairah hidup lagi.
Tiba-tiba ponsel Surya berdering di atas meja. Dengan malas Surya bangkit dan mengambil ponselnya. Ia menekan tombol oke dan mendengar suara Rio dari seberang sana. Ia menanyakan kabar Surya dan bagaimana kondisinya.
“Aku lagi sakit, Rio. Udah seminggu lebih dan aku muntah darah,” kata Surya dengan suara yang berat. Rio terkejut mendengar menuturan Surya.
“Muntah darah? Sebaiknya kamu ke seorang ustad, Surya. Arwah di rumah bambu itu sudah menguasaimu.” kata Rio. Surya tampak semakin lemah.
“Udah dulu ya, aku lagi lemes banget.” Surya mematikan ponselnya.
Sementara Rio masih ternganga.
“Ada apa, Rio?” tanya Adam yang melihat ekspresi Rio.
“Temen aku muntah darah. Kamu bisa bantu aku?”
Adam heran. “Bantu apa?” tanyanya penasaran.
“Aku ingin tahu apa yang terjadi sebenarnya ama temen-temen aku. Sejak kami mengunjungi rumah bambu itu, semuanya jadi aneh.”
Adam menarik nafas berat. “Baiklah tapi nanti malam. Aku gak bisa pergi kalau siang begini.”
“Oke ...”
###
Malam itu Adam kembali ngerogo sukmo. Ia kembali ke beberapa hari lalu saat dimana Rio dan teman-temannya berlibur. Diawali dari rencana mereka yang ingin berlibur.
Jakarta sore itu biasa saja seperti kemarin-kemarin. Aroma kopi menyeruak memadati ruangan berukuran sedang di cafe berlogo putri duyung berwana hijau. Cafe yang didesain begitu menarik memang tempat tongkrongan yang asyik dari cafe-cafe lainnya. Seperti biasa, gerai Starbucks menjadi tempat wajib Rio dan temen-temen untuk ngumpul dan berhaha-hihi sambil membicarakan hal-hal penting sampai yang nggak penting banget. Bukan karena sok gaya-gayaan nangkring di warung kopi waralaba berskala internasional itu, melainkan karena Sari, temen mereka bekerja disitu.
Rio dan teman-temannya tengah membicarakan kepergian mereka berlibur. Sekalian Climbing ke Gunung atau semacamnya. Mereka berencana liburan ke kampung halaman Rio.
Sore itu formasi Genk Caur sudah komplit. Sari, Rio, Daniel, Surya, Sofyan, Nindy, dan Tia sudah duduk manis sambil menyerut minuman di atas meja bundar. Sofyan dan Daniel masih terlihat rapi dengan kemeja lengan panjang serta dasi melingkar di lehernya. Maklum, mereka baru pulang kerja langsung meluncur ke Plaza Indonesia.
Begitu juga dengan Sari masih tampil rapi dengan blazer hitam serta rok mini berwarna senada. Nggak ketinggalan tas laptop kecil yang senantiasa dijinjing kemana pun dia pergi. Konon katanya, laptop kecil itu ‘nyawa’ bagi kinerjanya. Semua data penting ada disitu.
“Kalau sampai laptop ini hilang, mampus deh gue.” Cerita Sari sambil memeluk erat laptop berlogo apple itu.
Sementara Rio datang dengan gaya santai. Jeans, kaos oblong dan kets. Maklum, ia kuliah bebas dan bekerja di perusahaan yang nggak mengharuskan karyawannya tampil rapi, melainkan wajib wangi.