Surabaya, tetap sama seperti kemarin. Cuaca panas membuat orang-orang mencari tempat yang lebih teduh. Tidak bagi Seno yang sibuk memotret beberapa tanaman untuk koleksinya. Di sebelahnya berdiri seorang gadis cantik yang mengeluh kepanasan. Sebagai fotografer, Seno tidak memikirkan teriknya matahari. Ia terus saja sibuk mengutak-atik kameranya.
Setelah selesai memotret objek yang diinginkan, ia pun mengajak Dessy masuk ke dalam mobil. Tiba-tiba ponsel Dessy berdering. Dari mama. Mama ingin mengajak Dessy mengunjungi sang nenek di Ponorogo.
"Kamu di mana, Des?" tanya mama dari seberang.
"Lagi motret, Ma, bareng Seno," jawa Dessy singkat.
"Kamu cepat pulang. Mama mau jenguk nenek kamu di Ponorogo. Nenek kamu sedang sakit."
"Ponorogo? Dessy gak ikut, Ma."
"Kamu harus ikut. Mama tunggu di rumah."
Klik. Mama mematikan ponselnya sementara Dessy merungut-rungut di dalam mobil. Ekspresi itu dilihat Seno.
"Kenapa? Kok kamu cemberut?" tanya Seno dengan nada khas orang Surabaya.
"Mama ngajak ke Ponorogo lihat nenek. Nenekku lagi sakit."
"Trus masalahnya apa?"
"Aku gak mau ikut."
"Ponorogo itu asyik, Des. Aku temenin kamu. Bagaimana kalau kita ajak Roby dan Vina? Mereka pasti mau," kata Seno.
Dessy bergeming sejenak lalu mengiyakan usul Seno. Seno pun segera menelpon teman-temannya.
###
Teman-teman yang lain ternyata antusias ikut ke Ponorogo. Roby dan Dimas juga semangat. Mereka akan mendapatkan objek buat foto-foto mereka.
Siang itu mereka berangkat memakai mobil Seno. Perjalanan Surabaya ke Ponorogo memakan waktu hampir lima jam karena mereka memilih tidak melewati jalan tol. Sangat melelahkan, namun asyik dijalani.
Hampir senja mereka tiba di Ponorogo. Gerbang selamat datang yang berada di perbatasan Madiun-Ponorogo terlihat artistik. Patung Reyog, merak, jathil, warok, dan ganongan tampak menghiasi gerbang gapura perbatasan. Selain itu, memasuki kota, patung-patung yang berdiri kokoh membuah kelima pemuda itu berdecak kagum. Patung di sekitar aloon-aloon kota atau di bundaran perempat.
Senja masih menawarkan keindahan kota Ponorogo. Namun tidak bagi Dessy. Ia merasa bergidik manakala melihat patung-patung itu. Sangat menyeramkan baginya.
Teman-teman yang lain malah sibuk mengambil kamera dan memotret sebagian patung di sana.
"Cakep banget bro," kata Roby yang berkali-kali sibuk mengambil gambar dari mobil.
"Motretnya besok aja sekalian jalan-jalan 'kan bisa. Keburu gelap ini, harus cepet," sahut Seno.
Senja pun ditelan kegelapan malam. Butuh waktu tiga puluh menit untuk sampai ke desa nenek Dessy. Suasana kota pun berubah menjadi suasana pedesaan yang sunyi. Akhirnya mereka tiba di desa Wingit dimana mama Dessy dilahirkan.
Mobil Seno berhenti di halaman depan sebuah rumah sederhana. Mereka disambut seorang laki-laki paruh baya berkumis. Laki-laki berkulit hitam dan bertopi menyalami mereka. Itu adalah paman Dessy. Kemudian keluar laki-laki tua berkulit kecoklatan. Rambutnya sudah memutih dan tubuhnya kurus.
"Kakek ... " sapa Dessy sambil menyalami laki-laki itu.
"Dessy, kamu udah besar toh, Nduk?" tanya laki-laki tua itu mengumbar senyum.
Mama dan papa juga menyalami laki-laki itu, kemudian mereka masuk ke rumah yang lumayan luas.
Seno dan yang lain sibuk mengangkat barang-barang mereka. Vina masih mematung dan memperhatikan sekeliling desa. Desa itu tampak sepi dan gelap. Tidak ada warga lain yang keluar di malam itu.
"Vin ... ayo masuk," ajak Dessy, ketika Vina melamun. Vina pun tercekat dan melangkah masuk ke rumah.