Misteri Sanggar Cinta

Mizan Publishing
Chapter #3

Satu

Gemuruh tepuk tangan penonton memenuhi aula tempat pementasan drama tiga babak “Romeo dan Juliet” diadakan. Sebagian besar penonton terkagum-kagum dengan akting para pemain teater Sanggar Cinta ini. Maissy menghela napas. Baginya pertunjukan barusan tidak terlalu menarik. Memang, akting para pemain termasuk bagus. Rasanya kalau mereka ikut casting pemain sinetron, kemungkinan besar akan lolos. Yang membuatnya tidak terlalu suka adalah cerita yang mereka pentaskan. Kenapa harus Romeo dan Juliet? Cerita klise yang berlebihan. Kematian sia-sia dua tokoh utamanya tidak menarik untuk diangkat. Mati, bunuh diri, hanya untuk cinta dunia semata.

“Maissy! Mana tepuk tanganmu?!” bisik Nina.

“Maissy, bagus, kan penampilan Kelly barusan?” gantian ayahnya yang bertanya. Maissy tersenyum. Dengan terpaksa, ia pun bertepuk tangan. Ia menatap mamanya yang duduk di sampingnya. Baru ia sadari Mama tidak ikut bertepuk tangan. Wajah Mama masih seperti sewaktu baru memasuki halaman Sanggar Cinta. Pucat. Mirip orang yang sedang ketakutan. Entah apa yang terjadi pada Mama.

“Maissy, pemain Romeo itu ganteng banget, ya?” Mata Nina berbinar-binar saat mengucapkan itu. Maissy hanya menggelengkan kepala. Tetangganya yang juga teman sekelasnya di SMU Budaya itu memang gampang menyukai lawan jenis. Meskipun mungkin nilainya hanya lima.

“Maissy, kami ingin menemui Kelly di ruang ganti. Kau mau ikut?” tanya Mama yang disertai dengan anggukan Ayah di sisinya. Maissy menggeleng.

“Maissy pulang duluan, ya, Ma. Bilang ke Kakak kalau penampilannya tadi bagus sekali,” katanya, tersenyum. Sungguh, ia tak bohong. Penampilan Kelly, kakak perempuannya tadi memang mendekati sempurna. Ia hanya tak suka ceritanya. Itu saja.

“Ya sudah. Hati-hati ya, Sayang.” Mama membelai kepala Maissy yang tertutup jilbab, lembut. Maissy mengangguk.

Assalamualaikum,” ucapnya sebelum meninggalkan kedua orangtuanya.

“Maissy! Kamu belum jawab pertanyaanku tadi! Menurutmu kak Andi itu ganteng, nggak?” tanya Nina, setengah memaksa.

“Lho? Memangnya tadi kamu nanya?” Maissy mengerutkan kening.

“Ye! Payah!” Nina merengut.

“Kak Andi itu yang mana?” tanya Maissy dengan gaya cool-nya. Nina menepuk jidat.

“Itu… yang jadi Romeonya!”

“Ooo… Maaf. Aku lupa.” Maissy tersenyum.

“Aktingnya bagus. Setelah tiga tahun tidak berakting, dia tetap bagus.” Nina berdecak kagum.

“Tiga tahun?” Kening Maissy berkerut.

“Ah, Maissy. Kamu itu tadi memerhatikan atau tidak? Sanggar Cinta itu kan pernah vakum selama tiga tahun. Pada saat kebangkrutannya, kak Andi sedang dalam masa jayanya. Dia pemimpin Sanggar Cinta, dia juga yang menjadi idola karena selain permainannya bagus, dia juga ganteng,” jelas Nina. Maissy manggut-manggut.

“Oh… jadi Sanggar Cinta pernah vakum. Kenapa?”

“Itu aku nggak tahu. Tiga tahun lalu kan aku belum pindah ke sini. Kamu juga kan, Mai?”

Maissy tertunduk. Ya. tiga tahun lalu ia memang belum berada di kota ini. Ia juga belum menjadi bagian dari keluarga Kusuma.

“Kalau kamu nggak tahu, kenapa kamu tahu semua cerita tentang kak Andi? Malah kamu udah bisa menilai aktingnya yang lalu lagi. Padahal dulu kamu nggak menontonnya, kan?” tanyanya. Nina tersenyum.

“Kayaknya yang kuper itu cuma kamu aja, deh. Sebelum pementasan Sanggar Cinta kan sudah banyak orang-orang yang ngomongin. Aku sih denger-denger aja. Dan kalau soal penilaian itu, aku pikir itu sih gampang. Tadi kan bagus, yang tiga tahun lalu juga pasti bagus. Kalau enggak, mana mungkin dia disuruh menjadi pemimpin Sanggar Cinta.”

“Oh… gitu, toh?” Maissy manggut-manggut.

“Eh, akting kakakmu juga tadi bagus. Dia cocok banget jadi Juliet. Aku nggak nyangka. Kakakmu itu kan rada-rada sadis gitu. Ternyata bisa juga dia jadi gadis yang lembut.”

“Yah, namanya juga artis.” Maissy tersenyum. Kelly… sadis? Phiuh! Nina saja yang tidak serumah dengannya bisa mencapnya begitu. Apalagi aku.

“Aku ingin sekali bergabung di Sanggar Cinta, Mai. Menurutmu gimana?” tanya Nina, mengejutkan.

“Untuk apa?”

“Ya, untuk mengasah kemampuanku. Sepertinya aku berbakat jadi seorang artis,” kata Nina dengan rasa percaya diri yang tinggi. Maissy tertawa mendengarnya. “Hei! Jangan meremehkanku, ya!” Nina melotot. Maissy menutup mulutnya.

“Nggak, nggak. Maaf. Menurutku nggak ada gunanya ikut Sanggar Cinta.”

“Lho? Memangnya kenapa?”

“Habis, cerita-ceritanya nggak mutu, sih.”

Lihat selengkapnya