Jiwa muda itu memang penuh semangat dan rasa penasaran tinggi. Tapi ingat, rasa penasaran itu kadang bisa membuatmu dalam masalah....
👻👻👻
"Woi, cepetan! Kita bisa kemaleman, Kampret!"
Wildan, remaja berbadan besar itu duduk di balik kemudi dengan resah. Ia sudah menantikan hari ini dengan tidak sabar. Pergi berkunjung ke desa yang masih asri, jauh dari kebisingan kendaraan. Bermain di air terjun, mendaki gunung dan susur sungai. Pasti menyenangkan.
Ia berdecak lalu menjulurkan kepalanya keluar jendela, merasa geram saat melihat teman-temannya tidak bergegas masuk ke dalam mobil tapi malah bersenda gurau saling ejek. Ia hanya khawatir akan tiba di tempat itu saat matahari terbenam. Bukankah tidak baik juga jika mengingat daerah yang akan mereka kunjungi adalah tempat asing.
Tin tin tinnnn!
Ia menekan klakson dengan tidak sabar, membuat teman-temannya semakin senang bisa membuat Wildan merengut kesal.
"Bentar napa, Wil, kita lagi berkemas nih.”
Nara, cewek seksi berambut hitam sebahu itu menoleh sambil menyeret kopernya menuju bagasi mobil.
"Tauk tuh anak, nggak sabaran banget. Udah dipanggil kali sama penunggu tuh kampung.” Martha tertawa lalu tawanya berangsur surut saat menatap teman-temannya yang sedang menatap dirinya dengan tatapan horor.
“Apaan?” tanyanya polos.
"Ngomong apa sih lo, Tha?! Jaga ucapan lo! Hati-hati pas di sana ntar. Tahu ndirikan tu tempat beda sama sini?" sahut Nara sambil melotot ke arah Martha, suasana mendadak berubah canggung, membuat Reza dan Wildan mendengkus kesal.
Martha tersenyum kaku. "Iya iya, maafin gue, gue cuma bercanda kali."
"Bercanda lo nggak lucu, horor iya. Udah cepetan pada masuk! Gue tinggal nih!" Reza berteriak lalu diangguki dua cewek yang kemudian tergesa-gesa masuk ke dalam mobil dengan patuh.
“Iih, pasti seru banget deh. Bikin kemah, bikin api unggun, cari buah liar di hutan, main di sungai. Fix! Gue seneeeng,” pekik Nara sambil cekikikan.
“Heleh. Moga aja lo nggak nangis kalau liat uler. Di hutan, kan rumahnya uler. Ada yang besarnya segini.” Wildan menunjukkan ibu jari tangan kirinya yang gemuk.
Nara merengut. “Lo tuh nggak bisa liat orang seneng, ya? Iya in aja apa susahnya, Wil?”
“Habisnya, lo over excited gitu sih. Geli gue.” Wildan tertawa. “Siap berangkat belum nih?”
“SIAP!” jawab ketiga temannya dengan semangat.
Perlahan mobil bergerak meninggalkan rumah Martha, menembus sore hari dengan matahari yang masih menampakkan sinarnya. Angin berembus lembut dan dingin, membuat bulu kuduk meremang. Entah kenapa, Nara tiba-tiba merasa dingin di tengkuknya. Ia mengusap pelan, tidak curiga.
Tanpa mereka sadari, dari kejauhan di antara semak, berdiri sosok hitam yang bersembunyi di balik bayangan. Bibir pucatnya tersenyum, lalu bersenandung kecil sambil mengusap rambut panjangnya yang digerai menyamping melewati dadanya. Suaranya merdu membuat merinding,
*****
"Astoge, kita udah lewat jalan ini tadi!" pekik Nara, saat sekali lagi mobil yang ditumpanginya melintasi jembatan yang terbuat dari kayu, jembatan yang sama. Hari semakin malam, ia merogoh sakunya lalu mengambil handphone berlayar sentuh lebar.