MISTERI SERUNI

DEEANA DEE
Chapter #2

Chapter #2 Tersesat

"Ck! Gue nyesel udah ke sini. Harusnya kita tetep di dalam mobil aja!" Nara menggerutu putus asa. Ia berjalan terseret-seret karena lelah. Tangannya meraih dedaun secara acak, lalu melemparnya asal. Bibir gadis itu mencebik menandakan kekesalannya.

"Udah! Jangan ngeluh terus. Kalau lo nggak mau jalan, ya udah diem aja di sini. Lo kira kita bisa bertahan di dalam mobil terus?!" Martha mulai emosi. 

"Coba deh lo pikir. Kita tu uudah jalan semalaman, tapi nggak ada satu pun kampung atau apalah yang kita temui. Yang ada kita semakin masuk ke dalam hutan! INI GARA-GARA LO!! Mana lampu yang tadi lo liat! Itu Cuma demit, Tha! Demit!" 

Nara menunjuk muka Martha, membuat Martha kesal lalu mencengkeram kerah jaket milik Nara.  

"Eh, Lo! Denger, ya! Tadi gue liat lampu. Mereka juga liat. Tadi kenapa lo ikut kalau cuma bikin repot aja sih!"

“Lo tuh, ya, udah jelas ini hutan. Mana ada lampu? Mikir dong!” sengit Nara berapi-api.

“Mau muntah gue ngomong sama lo, lo pikir pake otak dong, Ra, lo kira gue mau nyelakain kita? Gue cuma liat lampu. Tadinya, kalau lo nggak mau ya ngapain ikut! Males gue sama lo!” Martha menghempas tangannya membuat Nara terhuyung ke belakang. 

"Udah! Stop!! Apa-apaan sih kalian? Kita ini teman, teman satu kelas! Kita mesti saling dukung, saling ngelindungin, bukan malah mau saling bunuh kayak gini! Kalian sadar nggak, sih, kita udah tersesat? Kita harus kompak teman-teman. Jangan ikuti amarah." Reza menangkap punggung Nara sebelum roboh ke tanah. 

"Ra, lo harusnya bisa ngontrol emosi lo. Lo juga, Tha. Kita semua capek, kita semua lelah dan kita semua putus asa. Jadi, kita mau tetap di sini berkelahi sampai pagi, atau kita lanjutin perjalanan? Gue ngikut aja." 

Martha dan Nara melengos sambil mendengkus. 

"Kita tetep jalan. Jujur aja, gue merasa nggak nyaman. Seperti ada sesuatu yang merhatiin. Kalian ngerasa nggak sih?" Wildan menengahi dengan suara hati-hati. 

Martha dan Nara mendekat. Merasa merinding. 

"Kalau gitu, ayo kita jalan lagi. Mungkin di depan udah ada perkampungan." Reza berjalan meninggalkan ketiga temannya yang kemudian menyusul dengan berlari-lari kecil. 

Pepohonan dengan batang besar tinggi menjulang dan berlumut membuat udara dini hari semakin dingin. Langkah ke empat remaja itu semakin pelan. Entah sudah berapa lama mereka berjalan. Menyusuri jalan setapak yang tidak ada ujungnya. 

Langit masih gelap dengan mendung menggelayut hampir menumpahkan isinya. Di kejauhan tampak kilat berpijar seperti pecut raksasa yang ingin membelah bumi. Angin juga berembus kencang membuat langkah mereka semakin tertatih. Lelah, takut dan lapar bercampur menjadi satu. 

"Tunggu!" jeda, Reza menghentikan langkahnya. Tangannya terangkat memberi kode agar teman-temannya berhenti berjalan. "Kalian denger sesuatu?" lanjutnya menoleh dengan raut serius. 

Ketiga temannya saling berpandangan. Lalu mengangkat bahu bersamaan. Reza mengerang. 

"Coba kalian dengerin baik-baik. Gue denger suara musik tradisional." 

Lihat selengkapnya