Matahari pagi bersinar cerah. Suara burung bercuit-cuit ramah seolah memberi nyanyian merdu untuk menyambut keempat remaja yang tengah melintasi hutan tanpa lelah.
Pagi yang dingin dan berkabut putih tebal. Mereka terus melangkahkan kaki di antara semak belukar bercampur tanaman pakis. Dingin, lembap dan lelah. Mereka terus berjuang menyeret kaki mereka untuk menemukan jalan keluar.
Botol minum telah kosong, dan makanan kecil untuk bekal pun telah habis. Sebelum siang hari mereka sudah harus keluar dari jalan setapak yang lebih menyerupai labirin yang membingungkan itu.
Reza mematahkan beberapa ranting untuk menandai jalan. Mereka berharap jalan yang akan mereka lalui nanti tidak hanya berputar-putar seperti semalam.
"Istirahat dulu, Wil." Martha berucap lelah. Tubuhnya lunglai, matanya pun mulai terasa berat. Ia berkali-kali menguap. “Kita tidur bentar,ya. Gue lemes.”
Wildan yang berjalan paling depan menoleh. Ia menghentikan langkahnya, berpikir sejenak lalu mengangguk. "Jangan tidur, Tha. Mungkin istirahat lima menit nggak masalah. Pokoknya sebelum tengah hari kita harus keluar dari tempat ini. Gue nggak mau bermalam lagi di sini," ucapnya sambil duduk. Berselonjor, mengistirahatkan kakinya yang gemetar.
"Gue juga nggak mau, Wil. Mudah-mudahan aja kita bisa nemu jalan keluar." Nara menyahut lemas.
"Ada yang masih punya air minum nggak?" Wildan menatap teman-temannya penuh harap.
Reza mengeluarkan botol minumannya, demikian juga Martha dan Nara. Semua botol telah kosong.
"Kita harus cari sungai. Nggak mungkin hutan lebat kayak gini nggak ada sungai atau air terjun, 'kan?" Reza mengusulkan.
Ketiga temannya mengangguk pasrah. Rasa lapar, mengantuk dan lelah sudah mendera. Tidak ada tenaga lagi untuk membantah. Mereka hanya berpikir semoga segera menemukan jalan keluar.
"Eh, guys. Senter kita juga udah abis baterainya. Kita harus bergegas. Yuk!"
"Astaga. Kita udah kehabisan semua bekal. Ayok Wil!" Nara menarik tangan Wildan.
Krosak!