Mentari pagi di kampus baru terasa asing bagi Nichan. Udara kota yang lembap dan hiruk pikuk mahasiswa berlalu-lalang adalah kontras mencolok dari semilir angin pegunungan dan ketenangan desa Chuan merupakan tempat asalnya. Gadis tomboi dengan rambut sebahu yang selalu diikat ekor kuda dan celana jins belel kesayangannya itu melangkah cepat, napasnya memburu bukan karena lelah, melainkan karena campuran gugup dan tekad. Di tangannya tergenggam erat sebuah proposal pengajuan dana, kertas-kertas yang ia susun berhari-hari dengan harapan tinggi. Proposal itu adalah satu-satunya jembatan baginya untuk bisa aktif berkegiatan di kampus, membiayai klub panjat tebing impiannya tanpa membebani keuangan keluarganya yang pas-pasan. Beasiswa? Ia tidak berhasil mendapatkannya, jadi setiap rupiah yang keluar harus berasal dari usahanya sendiri.
Nichan tiba di depan gedung rektorat, arsitektur megahnya membuat ia merasa kerdil. Jantungnya berdebar, bukan karena takut, melainkan karena antusiasme. Ini adalah langkah pertamanya menuju kemandirian. Ia menghampiri seorang satpam yang berdiri tegap di pintu masuk.
"Permisi, Pak, saya mau mengajukan proposal dana klub," ucap Nichan, suaranya sedikit bergetar.
Satpam itu tersenyum ramah, menunjukkan kerutan di sudut matanya, "Oh, Mbak. Untuk pengajuan dana klub, silakan ke gedung serbaguna, bagian kemahasiswaan. Gedung rektorat untuk urusan administrasi akademik."
Nichan mengangguk, sedikit kecewa karena salah alamat, namun segera berbalik arah, "Baik, Pak. Terima kasih." Ia mempercepat langkahnya, ingin segera menyelesaikan urusan ini dan mulai melatih otot-ototnya untuk panjat tebing. Pikirannya sudah melayang membayangkan tebing-tebing curam dan tantangan yang menanti.
Namun, di tikungan koridor yang cukup sempit, saat perhatiannya sedikit teralih ke brosur pengumuman yang tertempel di dinding, insiden tak terduga terjadi.
Brukk!!
Ia menabrak seseorang. Berkas-berkas di tangannya terlepas, beterbangan seperti daun kering di musim gugur, dan menabrak orang itu. Sebelum Nichan sempat meminta maaf atau bahkan menyadari siapa yang ia tabrak, ia mendengar sebuah suara berat yang bernada kesal.
"Hei, hati-hati dong!"
Nichan mendongak. Di depannya berdiri seorang pria tinggi dengan rambut hitam sedikit gondrong yang ditata rapi, dan wajah yang memancarkan aura angkuh. Matanya yang tajam menatap Nichan dengan ketidaksenangan yang jelas. Nichan merasa familiar dengan wajah itu. Itu Kenzo, sang ketua klub renang yang namanya sering disebut-sebut dan fotonya terpampang di berbagai poster pengumuman kampus. Ia terkenal dengan prestasinya di bidang olahraga air dan reputasinya sebagai pria yang cukup dingin dan sombong.
"Maaf," ujar Nichan datar, segera berjongkok untuk memunguti berkas-berkasnya yang berhamburan di lantai marmer yang dingin. Ia merasa kesal. Bukan sepenuhnya salahnya, tapi mengapa Kenzo langsung menunjukkan wajah tidak ramah seperti itu?
Kenzo mendengus, kakinya sedikit menggeser salah satu berkas yang tergeletak di dekatnya. "Maaf saja tidak cukup kalau sudah begini," katanya, menunjuk berkas-berkasnya yang sedikit kusut dan sedikit kotor karena terinjak.
Kata-kata itu membuat darah Nichan mendidih. Ia bangkit, menatap Kenzo tajam. Matanya yang gelap membalas tatapan Kenzo dengan tak kalah sengit, "Aku sudah bilang maaf, kan? Lagipula, kamu juga tidak lihat-lihat jalan!"
Kenzo mengangkat alisnya, terkejut dengan keberanian gadis di depannya, "Apa katamu? Aku? Kau yang menabrakku!"
Nichan mendengus. Debat kusir tidak akan menyelesaikan apa-apa. Ia meraih berkas-berkasnya yang tersisa, sebagian besar proposalnya, dan berbalik pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Amarahnya memuncak. Ia merasa diperlakukan tidak adil, seolah-olah semua orang di kampus ini hanya peduli pada diri mereka sendiri dan status mereka.