Mistery Ketua Klub Renang

Moycha Zia
Chapter #3

Chapter #3 Kelas Kalkulus

Minggu kedua perkuliahan dimulai, membawa rutinitas baru yang sedikit mengalihkan perhatian Nichan dari kecemasannya. Ia selalu menyukai angka dan logika. Matematika adalah pelariannya, tempat ia bisa menemukan ketertiban dalam kekacauan. Sebuah puzzle yang selalu punya solusi, tidak seperti hidupnya sekarang. Salah satu mata kuliah favoritnya adalah Kalkulus Lanjut, sebuah tantangan yang menarik bagi otaknya yang selalu ingin memecahkan masalah. Ia merasa lega bisa fokus pada sesuatu yang konkret, sesuatu yang tidak melibatkan drama kampus atau tatapan menghakimi.

Pada hari Senin pagi, Nichan melangkah masuk ke ruang kuliah yang luas, memilih bangku di deretan tengah, cukup jauh dari pintu agar tidak menarik perhatian. Ruangan sudah mulai terisi, dengungan obrolan mahasiswa memenuhi udara. Nichan mengeluarkan buku catatan dan pena, bersiap untuk tenggelam dalam dunia angka dan rumus. Ia mengambil napas dalam-dalam, mencoba mengusir sisa-sisa kecemasan dari minggu lalu.

Tiba-tiba, suara derit pintu depan menarik perhatian Nichan. Seorang profesor tua berkacamata tebal, dengan tumpukan buku di tangannya, masuk dan memulai perkuliahan dengan salam pembuka yang ramah, "Selamat pagi, mahasiswa-mahasiswi sekalian. Selamat datang di mata kuliah Kalkulus Lanjut. Saya Prof. Hardi."

Nichan mulai mencatat. Namun, saat Prof. Hardi mulai menuliskan rumus pertama di papan tulis, Nichan menyadari sesuatu. Di deretan kursi paling depan, di tengah-tengah kerumunan mahasiswa yang tampak antusias, duduklah Kenzo. Punggungnya tegap, rambutnya yang basah terlihat sedikit lebih rapi dari biasanya, seolah baru saja mandi atau berolahraga.

Jantung Nichan berdebar lebih kencang. Ia segera menunduk, berpura-pura sibuk menyiapkan alat tulisnya, menarik-narik ujung pulpennya dengan gugup. Sial, gumamnya dalam hati. Dari semua mata kuliah di kampus ini, mengapa harus mata kuliah ini? Matematika adalah satu-satunya tempat ia merasa aman, tempat di mana ia bisa melarikan diri dari drama kehidupan sosial. Sekarang, bahkan tempat itu pun terasa terkontaminasi oleh keberadaan Kenzo. Dunia Nichan terasa semakin menyempit.

Ia mencoba mengabaikannya, memaksakan diri untuk fokus pada materi yang dijelaskan Prof. Hardi. Ia mencoret-coret rumus, membuat catatan, dan berusaha keras untuk tidak mengangkat kepalanya. Namun, sesekali, ia merasa tatapan Kenzo mengarah padanya. Nichan bergidik. Ia bisa merasakan tatapan itu menusuk punggungnya, meskipun ia tidak berani menoleh untuk memastikannya. Apakah Kenzo sedang memperhatikannya? Atau hanya kebetulan? Nichan merasa tidak nyaman, seolah ia sedang menjadi target.

Suasana di kelas terasa semakin tegang bagi Nichan. Ia mendengar Kenzo sesekali berbisik kepada mahasiswa di sebelahnya, lalu tawa kecil terdengar. Apakah mereka menertawakannya? Apakah Kenzo menceritakan insiden kolam renang kepada teman-temannya di kelas ini? Kecurigaan Nichan semakin menjadi-jadi.

Di pertengahan kuliah, Prof. Hardi memberikan sebuah contoh soal yang cukup rumit. "Baik, siapa yang bisa menyelesaikan soal ini di papan tulis?" tanyanya, mengedarkan pandangan ke seisi ruangan.

Seisi kelas terdiam. Beberapa mahasiswa tampak menggaruk kepala, yang lain hanya menunduk, tidak berani mengangkat tangan. Nichan sendiri sudah mulai mencoba memecahkannya di bukunya. Ia melihat langkah-langkahnya, dan tampaknya ia berada di jalur yang benar. Namun, keraguan sesaat membuatnya enggan maju. Ia tidak ingin menarik perhatian lebih.

Tiba-tiba, sebuah kursi berderit di deretan depan. Semua mata tertuju pada sumber suara. Kenzo bangkit dari tempat duduknya, dengan tenang berjalan ke depan kelas. Ia mengambil spidol dan mulai menuliskan solusi di papan tulis dengan cepat dan tepat. Gerakan tangannya luwes, dan ia menuliskan setiap langkah dengan yakin. Nichan terkejut. Tidak hanya Kenzo terlihat sangat serius dan bersemangat ketika membahas matematika, tetapi ia juga sangat ahli. Ia menuliskan rumus-rumus kompleks dengan mudah, seolah itu adalah bahasa ibunya. Angka-angka dan simbol-simbol itu mengalir begitu saja dari ujung spidolnya.

Prof. Hardi tersenyum puas, ”Bagus sekali, Kenzo! Solusi yang sangat elegan."

Kenzo hanya mengangguk, lalu kembali ke tempat duduknya. Ia melirik sekilas ke arah Nichan, tatapannya sulit diartikan. Ada sedikit senyum tipis di bibirnya, namun Nichan tidak bisa tahu apakah itu senyum bangga, atau senyum mengejek.

Nichan merasakan sedikit kekaguman, tersembunyi di balik rasa kesalnya. Ternyata Kenzo tidak hanya jago berenang dan punya kekuasaan, tapi juga jago matematika. Sisi ini sangat jauh dari citra angkuh yang ia kenal. Nichan berpikir, Bagaimana bisa seseorang begitu multi-talenta? Dan kenapa, dari semua mata kuliah, mereka harus bertemu di Kalkulus Lanjut?

Lihat selengkapnya