Mistery Ketua Klub Renang

Moycha Zia
Chapter #5

Chapter #5 Kebetulan Bertemu di Kantin

Siang itu, perut Nichan keroncongan seperti orkestra mini yang memainkan simfoni kelaparan. Jadwal kuliah yang padat dan sesi tambahan di perpustakaan membuat ia lupa waktu. Ia hanya punya waktu sebentar sebelum kelas berikutnya dimulai, jadi kantin kampus adalah satu-satunya pilihan realistis. Nichan menghela napas, bersiap menghadapi keramaian dan, tentu saja, tatapan-tatapan penasaran yang masih sesekali ia rasakan. Insiden kolam renang itu seolah tak lekang dari ingatan kolektif mahasiswa.

"Semoga tidak ada drama lagi," gumam Nichan pada dirinya sendiri, sambil mendorong pintu kantin.

Begitu masuk, suasana riuh langsung menyergapnya. Meja-meja penuh, suara obrolan dan dentingan sendok beradu, menciptakan melodi khas kantin. Nichan menyipitkan mata, memindai setiap sudut, mencari seonggok tempat kosong yang bisa ia singgahi. Ia melihat satu-satunya bangku yang tersisa, di sebuah meja pojok yang agak tersembunyi. Senyum tipis mengembang di bibirnya. Yes!

Ia melangkah cepat menuju meja itu, nampan berisi nasi goreng dan es teh manis di tangannya. Namun, saat ia mendekat, senyumnya langsung lenyap, digantikan kerutan kening yang dalam. Di meja yang sama, duduklah Kenzo. Pria itu sedang makan sendirian, dengan buku tebal yang sama seperti yang ia pegang di taman kemarin tergeletak di samping piringnya. Wajahnya terlihat serius, sesekali menggaruk dagu seolah sedang memikirkan masalah dunia, bahkan saat ia menyuapkan sesendok nasi.

Nichan ragu. Haruskah ia mencari tempat lain? Tapi di mana? Kantin sudah penuh sesak. Perutnya juga sudah demo minta diisi. Ia menghela napas, berusaha menenangkan diri. Ini hanya bangku kosong, bukan undangan kencan.

Ia berjalan mendekat. "Permisi," kata Nichan datar, suaranya berusaha sekuat tenaga agar terdengar cuek, padahal jantungnya sudah berdebar seperti genderang mau perang.

Kenzo mengangkat kepala, matanya sedikit melebar saat melihat Nichan. Ia tidak menjawab, hanya menggeser tasnya sedikit, memberi ruang di bangku di seberangnya. Nichan duduk, meletakkan nampannya dengan hati-hati. Ia merasa seperti ada medan magnet yang menarik mereka berdua, padahal ia ingin sekali menghindar.

Suasana terasa canggung dan dingin, bahkan lebih dingin dari es teh manis Nichan. Mereka makan dalam diam. Nichan fokus pada nasi gorengnya, berpura-pura sangat tertarik pada setiap butir nasi. Ia bisa merasakan tatapan Kenzo sesekali meliriknya, namun ia bersumpah untuk tidak membalas tatapan itu. Ia makan secepat mungkin, seperti orang yang dikejar hantu, agar bisa segera pergi dari sana.

Beberapa menit berlalu dalam keheningan yang memekakkan. Nichan bisa mendengar suara sendok Kenzo beradu dengan piringnya. Ia hampir selesai dengan nasinya ketika Kenzo tiba-tiba berdeham.

"Nasi gorengnya enak?" tanya Kenzo, suaranya datar, tanpa emosi, seperti suara robot.

Nichan nyaris tersedak. Ia mendongak, menatap Kenzo dengan mata membelalak, "Apa?"

"Nasi gorengnya," ulang Kenzo, menunjuk piring Nichan dengan dagunya, "Enak tidak?"

Nichan mengerutkan kening. "Kenapa memangnya? Mau minta?" ia balik bertanya dengan nada sinis.

Kenzo menggeleng pelan, "Hanya bertanya. Aku belum pernah mencoba nasi goreng di sini. Aku selalu makan bubur ayam."

Nichan memandang piring Kenzo. Benar, bubur ayam. "Bubur ayam kan buat orang sakit," gumam Nichan, lebih pada dirinya sendiri.

Kenzo mengangkat alis, "Oh ya? Aku kira itu makanan sehat. Dan cepat."

Lihat selengkapnya