Pekan-pekan berikutnya berlalu dengan cepat, membawa Nichan semakin dalam ke dalam rutinitas perkuliahan. Ia mencoba memfokuskan seluruh energinya pada studi, terutama mata kuliah Kalkulus Lanjut yang semakin menantang. Matematika menjadi semacam pelarian baginya, sebuah dunia di mana logika dan jawaban pasti menenangkan kekacauan di benaknya. Namun, meskipun ia berusaha keras untuk mengabaikan, kehadiran Kenzo di kelas yang sama, dan ingatan akan percakapan aneh mereka di kantin, terus mengusik pikirannya.
Setiap kali Prof. Hardi masuk ke kelas, Nichan secara otomatis akan melirik ke deretan bangku paling depan, tempat Kenzo biasa duduk. Pria itu selalu terlihat tenang, fokus, dan tak pernah absen. Nichan masih menyimpan rasa jengkel padanya, terutama saat Kenzo dengan mudahnya memecahkan soal-soal rumit yang membuat mahasiswa lain pusing tujuh keliling. Hal itu menimbulkan rasa persaingan yang aneh di diri Nichan, seperti ia sedang berlomba dengan Kenzo, bukan di kolam renang, melainkan di papan tulis.
Suatu pagi yang mendung, suasana di kelas Kalkulus terasa lebih tegang dari biasanya. Prof. Hardi menuliskan sebuah soal di papan tulis. Soal itu melibatkan integral lipat tiga dan transformasi koordinat yang sangat kompleks. Mahasiswa lain mulai berbisik-bisik, beberapa di antaranya tampak putus asa.
"Nah, ini soal bonus untuk kalian," ujar Prof. Hardi, tersenyum kecil, "Siapa yang bisa menyelesaikan ini sebelum jam kuliah berakhir, akan saya beri nilai tambahan yang signifikan."
Nichan mengerutkan kening. Ia segera meraih pulpen dan mulai mencoret-coret di buku catatannya. Otaknya berputar cepat, mencoba memvisualisasikan masalah tersebut. Soal itu memang sangat sulit, namun Nichan merasa tertantang. Ia menyukai soal yang membuatnya harus berpikir keras. Ia yakin ia bisa menyelesaikannya.
Di sekelilingnya, terdengar berbagai keluhan.
"Aduh, Prof! Ini soal dari planet mana?"
"Aku nyerah deh, daripada pusing."
"Ini sih bukan bonus, ini jebakan!"
Nichan mengabaikan mereka, tenggelam dalam konsentrasinya. Namun, samar-samar, ia mendengar Kenzo di depannya juga ikut sibuk. Suara goresan pulpen di kertas Kenzo terdengar cepat dan mantap. Nichan melirik. Kenzo tampak sangat tenang, tidak ada raut frustrasi sedikit pun di wajahnya. Ia seperti sedang menikmati setiap langkah penyelesaian soal tersebut.
Waktu terus berjalan. Jarum jam menunjukkan bahwa lima belas menit lagi kuliah akan berakhir. Nichan masih berkutat pada satu langkah terakhir yang terasa begitu rumit. Tangannya mulai berkeringat. Ia merasa frustrasi, namun tidak menyerah.
Tiba-tiba, suara derit kursi di deretan depan memecah konsentrasi Nichan. Ia mengangkat kepala, dan matanya langsung tertuju pada Kenzo yang bangkit dari duduknya. Pria itu berjalan menuju papan tulis dengan langkah tenang dan yakin.
"Profesor, saya ingin mencoba," ujar Kenzo, suaranya jelas dan mantap.
Seluruh kelas sontak menoleh. Beberapa mahasiswa saling berpandangan, ada yang menghela napas pasrah, ada pula yang berbisik-bisik kagum. Nichan menatapnya dengan raut wajah tak percaya, “Dia lagi?”
Kenzo mengambil spidol, lalu mulai menuliskan solusi di papan tulis dengan gerakan cepat dan percaya diri. Tangannya seolah menari di atas papan, mengisi setiap baris dengan simbol-simbol matematika yang rumit. Nichan melihatnya. Setiap langkahnya logis, setiap rumus tepat. Tidak ada keraguan sedikit pun. Kenzo menuliskan penyelesaian soal itu dengan sangat rapi dan sistematis, persis seperti yang ia harapkan dari seorang ahli matematika.
"Lihat tuh si Kenzo, udah kayak dewa matematika aja," bisik seorang mahasiswa di belakang Nichan.
"Memang dia mah gitu, otaknya encer," sahut yang lain.
Nichan terus mengamati Kenzo. Ada sesuatu dalam cara Kenzo menyelesaikan soal itu yang membuat Nichan terdiam. Bukan hanya kepintarannya, tapi juga cara ia menikmati prosesnya. Ia tidak terlihat memaksakan diri, melainkan seperti sedang bermain. Sebuah permainan yang ia kuasai penuh.
Dalam waktu singkat, Kenzo telah menyelesaikan seluruh soal. Ia menaruh spidolnya, menoleh ke arah Prof. Hardi dengan ekspresi datar namun penuh keyakinan.
Prof. Hardi memeriksa solusi Kenzo dengan cermat, lalu senyum puas merekah di wajahnya, "Sempurna, Kenzo! Benar-benar sempurna! Ini adalah solusi yang paling efisien dan tepat yang pernah saya lihat."
Prof. Hardi bertepuk tangan, diikuti oleh beberapa mahasiswa lainnya yang kagum.
Kenzo hanya mengangguk tipis sebagai tanggapan, lalu kembali ke bangkunya. Sebelum duduk, matanya berpapasan dengan Nichan. Ada senyum tipis di bibirnya, senyum yang kali ini tidak bisa Nichan artikan sebagai mengejek. Itu lebih seperti senyum pengertian? Atau bahkan sedikit bangga?
Nichan merasa panas dingin. Kekaguman bercampur rasa kesal. Ia memang mengakui Kenzo cerdas, sangat cerdas. Tapi ia juga kesal karena Kenzo selalu selangkah di depannya. Nichan melihat buku catatannya. Ia juga hampir menyelesaikan soal itu, tapi Kenzo lebih cepat. Selalu lebih cepat.
Setelah kelas usai, Nichan membereskan bukunya dengan gerakan cepat. Ia tidak ingin lagi ada interaksi canggung dengan Kenzo. Ia berencana langsung pergi begitu bel berbunyi. Namun, Kenzo sudah berdiri di samping mejanya.
"Soal tadi, kau sudah bisa mengerjakannya?" tanya Kenzo, suaranya tenang.