Beberapa hari setelah sesi belajar yang mengejutkan di perpustakaan, Nichan mendapati dirinya terus memikirkan tawaran Kenzo. Bukan hanya tawaran bantuan untuk klub panjat tebingnya, tapi juga sisi Kenzo yang baru ia kenal. Kenzo si ahli matematika yang sabar menjelaskan, Kenzo yang tersenyum renyah, dan Kenzo yang menunjukkan kerentanan di tepi kolam. Semua itu berputar di benaknya, menciptakan sebuah teka-teki baru yang jauh lebih menarik daripada Kalkulus.
"Kau benar-benar yakin mau minta bantuan Kenzo, Chan?" tanya Rina suatu sore, saat mereka sedang merapikan lemari di asrama, "Dia kan ..."
"Aku tahu, dia ketua klub renang yang angkuh dan menyebalkan," potong Nichan, meski ada keraguan dalam suaranya, "Tapi dia menawarkan bantuan. Lagipula, dia juga anak orang kaya, pasti punya koneksi."
Rina menghela napas, "Baiklah, kalau itu bisa membantumu dapat dana klub. Tapi hati-hati ya, Chan. Jangan sampai kamu malah terjebak drama yang lain."
Nichan hanya mengangguk. Ia sendiri tidak tahu apa yang akan terjadi. Ada rasa penasaran yang kuat mendorongnya untuk menguak misteri Kenzo, terutama setelah melihat pria itu menangis di taman. Ketua klub renang yang takut air? Itu adalah sebuah paradoks yang tidak bisa ia abaikan.
Keesokan harinya, Nichan menerima pesan singkat dari Kenzo.
Kenzo, “Sudah kudapatkan beberapa informasi. Bisakah kita bertemu di kafe dekat gerbang utama sore ini? Jam 5?”
Jantung Nichan berdegup lebih kencang. Ia membalas dengan cepat, “Oke.”
Ketika Nichan tiba di kafe, Kenzo sudah duduk di sebuah meja pojok, menyeruput kopi hitam. Ia mengenakan kaus polos dan celana jins, terlihat jauh lebih santai dari biasanya. Namun, ada aura keseriusan di matanya yang tajam.
"Sudah lama menunggu?" tanya Nichan saat ia duduk di kursi seberang Kenzo.
Kenzo menggeleng, "Baru saja. Kau mau pesan apa?"
"Kopi susu saja," jawab Nichan, sedikit canggung. Suasana di antara mereka terasa berbeda, tidak sedingin dulu, tapi juga belum sepenuhnya nyaman.
Setelah pelayan mencatat pesanan Nichan, Kenzo langsung menyerahkan sebuah amplop cokelat, "Ini, beberapa informasi yang kudapat."
Nichan membuka amplop itu. Di dalamnya ada beberapa lembar dokumen dan daftar nama, "Apa ini?"
"Itu adalah daftar beasiswa internal kampus yang tidak banyak diketahui orang, dan beberapa program pendanaan kecil untuk klub olahraga non-prioritas," jelas Kenzo, lalu berkata kembali, "Dan yang ini, adalah salinan arsip kegiatan mahasiswa lama. Aku menemukan beberapa celah."
Nichan membelalakkan mata, "Kau seriusan mencari ini semua untukku?"
Kenzo mengangguk, "Tentu saja. Aku bilang akan membantu, bukan?" Ia menyeruput kopinya, "Jadi, dari yang kutemukan, klub panjat tebingmu sebenarnya bisa didanai jika memenuhi beberapa syarat tambahan. Seperti harus ada minimal lima puluh anggota, dan harus ada satu pembimbing yang sudah berlisensi nasional."
Nichan menghela napas, "Lima puluh anggota? Itu banyak sekali! Dan pembimbing berlisensi?" Ia merasa harapannya kembali menipis, "Itu hampir tidak mungkin."
"Tidak ada yang tidak mungkin," kata Kenzo tenang, "Hanya butuh usaha lebih. Dan soal pembimbing, aku punya ide."
Nichan menatapnya dengan penuh harap, "Ide apa?"
"Ada seorang dosen senior di Fakultas Olahraga, namanya Pak Surya. Beliau dulunya adalah atlet panjat tebing nasional, tapi kecelakaan membuatnya pensiun dini," jelas Kenzo, "Dia masih punya lisensi, dan dia punya nama besar. Kalau beliau mau jadi pembimbing klubmu, itu akan jadi nilai plus besar di mata dekanat."
"Pak Surya?" Nichan mengerutkan kening sambil berpikir, "Aku pernah dengar namanya. Tapi kudengar dia sangat tertutup, dan tidak mau lagi berhubungan dengan panjat tebing."
Kenzo mengangguk, "Itu masalahnya. Dia punya trauma dengan panjat tebing. Tapi, kita bisa coba bujuk."
"Bagaimana caranya membujuk orang yang trauma untuk kembali ke masa lalunya?" tanya Nichan skeptis.
Kenzo tersenyum tipis, "Itu misimu. Kau kan 'berani'."
Nichan mendengus, "Jangan mengejekku."
"Aku tidak mengejek," Kenzo mengangkat bahu, "Aku serius. Kau punya tekad. Aku melihat itu. Kau harus buktikan pada mereka bahwa klubmu layak didanai."
Nichan terdiam, memikirkan perkataan Kenzo. Sebuah harapan kecil kembali menyala, "Baiklah. Aku akan coba bicara dengan Pak Surya. Tapi, bagaimana kalau dia menolak mentah-mentah?"
"Kau tidak akan tahu kalau tidak mencoba," Kenzo menyemangati, "Dan aku akan membantumu. Aku bisa mencarikan jadwal Pak Surya, dan mungkin sedikit informasi tentang latar belakangnya, agar kau bisa tahu apa yang harus kau katakan."
Nichan merasa terharu. Kenzo benar-benar membantunya. Bukan hanya dengan informasi, tapi juga dengan dukungan moral. "Terima kasih, Kenzo," ucap Nichan tulus. Ini adalah pertama kalinya ia mengucapkan terima kasih kepadanya tanpa sindiran.
Kenzo tersenyum, "Sama-sama. Lagipula, ini kan bagian dari kesepakatan kita, bukan? Aku bantu kau, dan kau berhenti menyindirku soal kolam renang."