MISTIS & MEDIS

Linda Fadilah
Chapter #2

AWAL MULA

Sukabumi, Agustus 2019.

Matahari menyambutku dengan pelukan hangat. Suara kicau burung tetangga terdengar merdu dan indah. Seolah menjadi sound system penyambutan pagi yang sangat cerah. Aku sudah bersiap-siap untuk berangkat kerja. Oh ya... aku bekerja di salah satu Toserba terbesar yang ada di kotaku tepatnya di Jl. R.E Martadinata. Kalau kamu orang sini, pasti tahu. Setiap pagi, aku tidak pernah melewatkan sarapan meski sesudah itu perutku selalu meronta mulas. Tapi Ibuku selalu memaksa untuk sarapan, katanya... “Biar nggak lemas dan ngantuk.”

 Tepat pukul setengah tujuh, aku selesai sarapan nasi goreng kecap buatan Ibu. Rasanya sangat enak dan tidak ada tandingannya. Sungguh, aku tidak bohong. Aku bersiap-siap berangkat bersama dengan Bapak yang juga akan berangkat kerja. Meski jalur kita tidak searah, tapi Bapak selalu mengantarku dulu. Jarak dari rumahku di Jl. Bhayangkara ke tempat kerjaku sekitar 2,3km atau setara dengan 6 menit kalau ngebut pakai motor dan 15 menit kalau bawa motornya diangka kecepatan 20 dan lewat jalan yang lebih jauh.

Seperti hari-hari biasa, setiap pagi sebelum melakukan aktivitas, pasti akan ada yang namanya apel pagi untuk doa bersama sekitar pukul setengah delapan. Kalau ada yang bertanya, kok kamu berangkat pagi sekali jam setengah 7? Oke, aku jelaskan kalau aku mengejar absen pukul tujuh tepat. Lewat dari jam itu, dianggap terlambat.

Setelah selesai apel, kami semua masuk ke dalam gedung dan langsung briefing dengan para petinggi, membahas hal basic soal pencapaian target, minus penjualan dan bagaimana cara meningkatkan penjualan. Pokoknya ... yang begitu, deh. Sekitar kurang lebih tiga puluh menit briefing, semua disibukkan dengan pengisian barang dan perapian sebelum buka toko tepat di pukul sembilan.

 Semua berjalan layaknya seperti biasanya hingga waktu istirahat tiba. Teman-temanku mengajakku untuk makan Bakso Mae yang terkenal mantap dan lezat. Aku oke-oke saja dan saat pesananku sudah tiba, entah kenapa aku melihat bakso itu rasanya sangat mual. Bahkan saat mencium aromanya pun aku tidak kuat, tidak seperti biasanya yang selalu excited tiap kali aku menyantap makanan itu. Aku melihat teman-temanku sangat lahap. Aku berpikir; apakah aku masuk angin? Tapi aku tidak merasakan gejalanya, bahkan pusing atau merasa perut kembung juga tidak. Aku merasa sehat-sehat saja. Aku tidak ambil pusing, aku paksakan makan karena memang sudah lapar.

Lalu, biasanya kami punya ritual kalau setelah makan berat pasti jajan makanan ringan. Saat itu aku tidak mau, karena rasa mualku betul-betul bertambah berkali lipat. Melihat segala macam makanan membuat perutku seolah diaduk dan bergelenyar sampai rasa mual sungguh tak tertahan. Hingga salah satu temanku menyindir.

“Idih ... tumben.”

Aku senyum. “Mual.”

“Hamil?” balasnya lagi.

Aku mendorong gemas bahunya. “Iya ... hamil eek.”

Mereka tertawa. Sementara Aku hanya senyum dan masih tetap berusaha untuk tidak melihat makanan—jenis apa pun itu—aku menyibukkan diri untuk menatap kendaraan yang berlalu-lalang di jalan raya.

***

Pukul tiga sore.

Waktunya pulang dan sekitar pukul setengah empat aku baru saja sampai rumah. Aku buru-buru ke kamar dan cepat-cepat mengerjakan laporan untuk dikirimkan ke atasan. Masih pakai seragam dan rebahan. Tangan kiriku mengelus-elus dagu dan beralih ke bawah dagu, aku sedikit tekan-tekan dan terasa ada benjolan kecil. Aku mengernyit heran. Aku buru-buru beranjak dari posisiku dan berlari menuju cermin lemari. Aku sedikit mendongak dan meraba-raba bagian bawah daguku itu. Dan benar, terlihat ada sedikit benjolan sebesar kacang hijau.

Aku ketawa pada saat itu.

Lalu, aku memanggil Ibu. “Bu ... Ibu.”

Ibuku masuk ke dalam kamar yang pintunya memang tidak aku tutup. “Hm?”

Aku menatap Ibu, dengan posisi tangan masih menekan-nekan benjolan itu. “Bu ... lihat, ada benjolan di sini. Lucu deh.”

Ibuku terlihat panik, bergegas menghampiriku dan mengamati bawah daguku. Tanganku yang masih menekan-nekan langsung ditepisnya dengan tatapan marah. “JANGAN DIMAININ!”

Aku kaget. Tapi aku ngeyel tetap meraba-raba, sampai Ibuku kembali menepis tanganku lagi. “Jangan dimainin, nanti tambah gede!”

“Emang ini apa?” tanyaku polos yang saat itu aku memang betul-betul tidak tahu.

“Nggak tahu. Pokoknya jangan dimainin. Awas!” Ibu memperingatiku sambil berlalu pergi.

Aku menatap punggung Ibu sampai keluar kamar dan aku kembali menekan-nekan benjolan itu sambil cekikikan. Tidak terasa sakit apa-apa, yang justru saat aku menekan benjolan itu ke berbagai arah—benjolan itu seperti hidup dan ikut bergerak.

***

Malamnya.

Dan aku masih tidak mau makan. Rasa mual semakin menjadi, aku hanya minum air putih saja meskipun perut keroncongan meminta makan, tapi aku menolak.

Dulu, aku memang tidak bisa untuk tidur di atas jam delapan malam. Selalu saja, setelah Shalat Isya aku langsung tertidur lelap. Karena aku selalu berpikir, aku tidak boleh tidur kurang dari 8 jam.

Lihat selengkapnya