Suatu ketika di hari yang tidak pernah aku duga sama sekali. Ketika aku merasa ada hal lain yang datang dalam hidupku. Akhirnya aku menuruti kemauan Ibu untuk periksakan masalahku ini ke Dr. Arief yang membuka praktik tidak jauh dari rumah. Aku mulai mengeluh karena aku sering kali sesak napas dan juga sangat mudah lelah.
Aku hanya terduduk bersama Ibuku menunggu giliran untuk dipanggil. Saat itu, pasien terbilang banyak dan aku mendapat nomor antrean yang hampir terakhir. Tadinya aku meminta pada Ibu untuk pulang saja karena aku sudah lelah dari sore sekitar pukul lima—seingatku—sampai pukul delapan malam belum juga dapat giliran.
Akhirnya tepat di pukul delapan lebih sedikit, namaku dipanggil. Aku dan Ibu masuk ke dalam ruangan yang hanya ada Dokter di sana sedang duduk di mejanya, ada brankar kasur juga dan alat-alat medis.
“Selamat malam,” sapa Dokter ketika Aku dan Ibu masuk.
“Malam, Dok,” jawabku dan Ibu.
Aku dan Ibu duduk di hadapan Dokter.
“Siapa yang sakit?” tanya Dokter sambil menatapku dan Ibu.
“Ini, Dok,” Ibu menunjukku.
Dokter menatapku. “Apa keluhannya?”
Aku melirik Ibu dan Ibu yang menjawab. “Ada benjolan di bawah dagunya, Dok. Terus katanya sering ngerasa capek dan suka sesak napas.”
Dr. Arief beranjak dari duduknya. “Mari saya periksa.”
Aku mengikuti Dr. Arief dan aku diminta untuk berbaring di brankar. Aku hanya terdiam dan menatap Ibu yang berdiri di belakang Dokter dengan wajah cemas ketika Dokter memeriksa mulut dan mataku melalui senter kecil, lalu meraba-raba benjolan di bawah daguku.
“Ini udah lama, ya?” tanya Dokter.
“Sekitar ... satu bulan lalu,” kujawab.
Dr. Arief terlihat kaget. “Pantesan sudah mulai membesar. Cepat lho ini besarnya. Kenapa nggak langsung diperiksa?”
Aku hanya diam dengan perasaan bingung, refleks aku menatap Ibu sebagai isyarat untuk bantu aku menjawab.
Dokter kembali ke mejanya. Ibuku mulai bertanya-tanya soal penyakitku.
“Ini kelenjar, Bu. Kelenjar getah bening. Udah lama itu ukurannya udah besar.”
Ibuku terlihat syok dan langsung menatapku yang masih duduk di brankar. “Jadi ... harus gimana, Dok?”
“Saya nggak bisa diagnosis, Bu. Saya akan rujuk ke Dokter Spesialis Bedah. Karena yang bisa menjawab hanya Dokter Spesialis Bedah.”
Aku terbelalak mendengarnya. Terkesan menakutkan dan aku merasa ngeri kalau harus berurusan dengan Dokter Spesialis, apalagi Spesialis Bedah.
“Berarti harus di operasi, Dok?” tanya Ibu.
Dr. Arief mengangguk. “Betul. Harus dilakukan operasi untuk mengetahui diagnosis dari kelenjar itu.”
Ibu diam dengan seraut wajah bimbang, lalu menatapku. Aku bisa membaca sorot matanya yang meminta jawaban dari apa keputusanku.
Tapi aku tetap diam.
“Coba kalau diperiksanya sejak masih ukuran kecil, saya masih bisa bantu dengan obat-obatan. Tapi untuk seukuran itu, saya tidak bisa bantu, Bu,” kata Dr. Arief lagi. “Jangan pernah menyepelekan benjolan sekecil apa pun. Apalagi di area leher, ketiak, payudara. Itu sangat fatal kalau didiamkan.”
Dr. Arief menuliskan resep obat sekaligus surat rujukan untuk aku ke Dokter Spesialis Bedah. “Obat ini diminum secara teratur setiap hari. Dan ini surat rujukan untuk Dokter Bedah, sebaiknya segera dilakukan sebelum benjolan kelenjar itu semakin besar.”
Aku mengangguk dan mulai turun dari brankar dengan hati-hati, karena kakiku masih terasa sakit.
Ibu kembali bertanya. “Tapi, Dok, gimana sama kakinya? Dari kemarin ngeluh sakit dan terlihat bengkak juga.”
Sebelumnya aku sudah cerita ke Ibu soal kakiku yang sakit, dari mulai sakit di lutut sampai akhirnya di pergelangan kaki dan membengkak.
Dokter mengernyit heran. Beliau kembali beranjak dari duduknya dan memintaku kembali duduk di brankar. Dokter meminta kakiku yang sakit dinaikkan ke atas. Dr. Arief hanya diam dan berpaling menatapku. Lalu berkata;
“Ini ... kenapa?”
***
Ibu merenungkan masalah penyakitku ini yang bisa dikatakan serius. Akhirnya, Ibu berdiskusi dengan Bapak bagaimana jalan keluarnya dan aku hanya bisa diam, tidak memberi tanggapan apa-apa. Sementara kakiku semakin terasa sangat sakit dan semakin membengkak, aku izin ke Ibu untuk tidur lebih dulu.
Dan hari demi hari berlalu. Masih belum ada keputusan dari Ibu dan juga Bapak. Selama itu juga aku merasa ada yang aneh dalam diriku, terutama benjolan itu yang terasa semakin membesar tapi tidak terasa sakit sama sekali. Begitu juga dengan kakiku yang membengkak semakin besar malah menjalar ke punggung telapak kakiku yang menjadi gendut dan saat aku tekan-tekan seperti ada air di dalamnya, dan kulitnya menghitam. Sangat hitam nyaris seperti terbakar dan terasa sangat-sangat panas.
Hanya sebelah kakiku yang kanan. Sementara yang kiri normal.
Aku merasa ada yang tidak beres karena tidak ada jawaban apa-apa dari Dokter soal kakiku ini.
Ketika aku baru saja pulang kerja, tiba-tiba ada pamanku, yang aku panggil Mang Golo—adik dari Ibu—datang ke rumah dan katanya ingin bertemu denganku. Tumben. Pamanku ini adalah salah satu “orang Pintar” dan banyak orang-orang yang sakit meminta obat ke beliau. Atau bisa disebut, berobat alternatif tanpa bantuan medis.