MISTIS & MEDIS

Linda Fadilah
Chapter #5

SOSOK APA ITU?

“Teteh ... itu kakinya kenapa?”

“Teteh ... kok masih kerja? Emang kuat?”

“Ih ... kamu double chin sekarang. Hahaha.”

Celetukan itu selalu saja aku dengar, sebenarnya aku tidak masalah, toh aku tidak bilang ke banyak orang tentang kondisiku saat itu. Aku bekerja di Toserba dan di bagi menjadi 2 Shift jam kerja. Saat itu aku bagian Shift siang masuk jam 1 dan pulang jam 9 malam. Sering kali aku tidak sampai jam 9, kebanyakan aku minta izin sampai jam 8 dikarenakan aku tidak kuat merasakan kakiku yang selalu tiba-tiba saja sakit.

Kinerjaku mulai tidak kondusif oleh karena terhalang kondisi kakiku.

“Aa ... aku izin pulang, ya? Sakit euy.” Aku izin ke salah satu senior di sana.

“Iya boleh jung.” (Jung=gih)

“Pakai surat jangan?”

“Nggak usah.”

“Oke, nuhun, ya.”

Aku bergegas pergi meski tergopoh-gopoh, kalau tidak salah aku pulang sekitar pukul setengah 8 malam. Saat itu, Kak Rubi mencegatku ketika aku mau menuruni tangga menuju lantai satu. “Jadi pulang?”

“Iya.”

“Sama siapa?”

“Dijemput Bapak.”

“Ya udah hati-hati.”

“Oke.”

Aku berjalan menuruni tangga sangat hati-hati, karena entah kenapa kadang di waktu-waktu tertentu aku selalu merasakan sakit yang tiba-tiba. Rasanya seperti nyut-nyutan tapi anehnya, sakitnya tidak hanya di satu titik telapak kakiku saja. Tapi selalu menjalar—seperti berjalan-jalan—dari lutut, betis sampai ke pergelangan kaki. Terus saja seperti itu yang aku rasakan. Benar-benar seperti bergerak-gerak.

Aku tidak paham. Apakah bengkaknya kakiku sama seperti kelenjar?

Aku menunggu Bapak di gerbang belakang. Sambil chatan dengan Vadhel. Awalnya dia menawarkan diri untuk menjemput, tapi aku tolak karena Aku malu. Iya, malu kalau Vadhel melihat kondisi kakiku.

Tidak lama aku menunggu, akhirnya Bapak tiba. “Sakit lagi?”

Aku mengangguk, ingin menangis, tapi aku tahan. Akhirnya aku naik ke boncengan motor.

Sampai rumah. Ibu sudah ada di depan pintu sambil menangis karena sebelumnya aku menelepon Bapak untuk minta jemput karena kakiku sakit dan Bapak bilang ke Ibu.

“Kenapa lagi?” tanya Ibu sambil menangis.

Aku tidak menjawab hanya berjalan menghampirinya dan menyalami tangannya. Saat itu, Kakakku yang pertama sedang berkunjung, dia terdiam melihat kondisiku. Lalu dia berkata ke Istrinya. “Yuk, pulang.”

“Lho? Nggak mau lihat Nda dulu?” tanya Istrinya.

“Nggak .. udah hayu pulang.”

Aku melihat Kakakku seperti cuek dan terkesan buru-buru, aku menyalami tangannya dan dia sama sekali tidak mau melihatku. Lantas Kakakku cepat-cepat menyalakan mesin motornya dan pergi meninggalkan rumah dengan istri dan anaknya.

“Padahal si Aa baru dateng,” kata Ibu.

“Oh,” aku hanya menjawab itu. Aku buru-buru membersihkan diri dan berganti baju. Setelah itu, Aku dipanggil Bapak sama Ibu untuk menghadap ke ruang televisi.

“Pakai ini dulu buat kaki.” Bapak memberikan obat gosok yang namanya param kocok. Botolnya berukuran tidak terlalu besar, berwarna abu-abu. “Sini kakinya mana, biar Bapak obatin.”

“Nggak usah,” kataku. “Sama Nda aja.”

“Udah sini buruan.”

Akhirnya aku menurut. Aku mengangkat kaki kananku itu ke atas meja, Bapak membuka obat itu. Obatnya cair berwarna hitam dan menyengat bau seperti kayu putih bercampur dengan obat-obatan herbal. Menenangkan, tapi tajam. Kalau kata orang-orang; bau kakek-kakek.

Obat itu dibalurkan sampai ke lututku, karena aku mengeluh sakitnya sampai lutut. Tapi ya begitu, sakitnya tidak menetap alias bergerak atau jalan-jalan. Jadi aku bingung juga. Saat Bapak mengoleskan di bagian lutut, sakitnya malah pindah ke bagian betis. Saat Bapak mengoleskan di bagian betis, sakitnya malah pindah ke bagian lutut. Terus saja siklusnya begitu sampai akhirnya Bapak mengoleskan ke semua saja. Hingga kakiku hitam dan terasa lengket.

Setelah selesai, aku pamit untuk tidur. “Mau tidur.”

“Udah makan?” tanya Ibu.

Aku mengangguk.

“Ya udah kalau gitu. Baca doa dulu, ya?”

“Iya.” Aku berjalan pelan-pelan sampai kamar. Kututup pintunya tapi tidak rapat.

Sampai akhirnya ponselku bergetar. Aku menyambar ponsel itu yang kuletakkan di atas meja rias, aku melihat ada notifikasi pesan masuk dari Teh Gina. Teman satu kerjaku dan aku dekat dengannya.

Lin, aku curiga sama penyakit kaki kamu.”

“Curiga kenapa, Teh?”

Teh Gina membalas;

“Kayaknya bukan medis deh.”

“Terus apa atuh?”

Teh Gina membalas;

Temenku pernah pakai cara ini dan katanya berhasil. Dia dapet petunjuk. Coba kamu dengerin sambil tutup mata terus jangan bayangin apa-apa. Sambil tiduran, ya? Ntar aku kirim linknya. Kalau emang bener ada nonmedis yang nyerang kamu, pasti dikasih petunjuk. Semangat yaa.”

Aku menunggu balasan Teh Gina sambil membaringkan tubuhku. Tidak lama, Teh Gina mengirimkan link yang mengarah ke YouTube. Dan saat aku klik ternyata ayat-ayat ruqyah dari Ustaz Khalid Basalamah.

Aku mengikuti saran dari Teh Gina. Aku simpan ponselku di samping telinga kanan dengan volume yang lumayan kencang. Aku memosisikan tubuhku terlentang dan mataku terpejam saat ayat-ayat ruqyah itu bersenandung merdu.

Pikiranku kosong.

Entah bagaimana bisa tiba-tiba ketika aku masih dalam posisiku—memejamkan mata—kelopak yang menutupi kedua bola mataku mendadak perlahan-lahan transparan. Meski tidak begitu jelas, seperti ada asap tipis yang menghalangi pandanganku. Kamu tahu? Aku bisa melihat sekelilingku. Bahkan aku bisa melihat kalau posisiku terlentang dengan kedua tangan di atas perut. Aku melihat sekeliling. Ya, ini kamarku!

Aku melihat ke jam dinding menunjukkan pukul sembilan malam.

Namun, saat aku melihat ke arah kakiku, tiba-tiba ada sosok hitam besar dengan matanya yang merah sedang berjongkok persis di samping kaki kananku. Sosok itu mengamati kakiku. Aku ingin membuka mata, tapi sulit dan rasanya seperti di lem. Bersamaan aku mengamati lebih dalam sosok itu dan detik itu juga sosok itu menoleh menatapku. Aku langsung membuka mata dan menarik kaki kananku.

Tidak ada apa-apa.

Aku menatap sekitar dengan hati berdebar kencang. Memastikan kalau yang sudah muncul di hadapanku itu tidaklah nyata. Tapi entah kenapa, aku merasakan bulu kudukku meremang dan perasaan takut menjalar. Aku menatap jam di dinding tepat pukul sembilan.

Aku buru-buru keluar kamar dan menuju kamar Nenek, memilih untuk tidur di sana malam itu.

Sampai Ibu dan Bapak heran ketika melihat aku tiba-tiba keluar kamar.

“Ada apa?” tanya Ibu saat aku sudah di kamar Nenek.

Lihat selengkapnya