Sudah satu Minggu lebih aku tidak menghubungi Vadhel. Tidak memberinya kabar bahkan tidak membalas pesan dan menerima teleponnya. Aku betul-betul menghindari dia. Aku betul-betul fokus dengan penyakitku dan aku tidak mau melibatkannya.
Akhirnya, tepat awal November, Vadhel mengakhiri hubungan kami. Aku sama sekali tidak keberatan justru menganggap kalau ini memang jalan terbaik untuk kami. Kuakui dia laki-laki yang sangat baik yang pernah aku temui dan yang pernah hadir dalam hidupku. Dia penyabar, sangat penyabar. Dia perhatian dan juga penyayang. Dia tidak pernah marah padaku sedikit pun, bahkan dia selalu mengalah tiap kali aku berbuat salah.
Tapi setelah putus, aku dan dia masih bertukar kabar kadang-kadang dan sesekali bertemu bahkan dia jengkel padaku kenapa setelah putus baru bisa meluangkan waktu. Aku hanya membalasnya dengan tertawa.
Hari demi hari benjolan yang ada di bawah daguku semakin membesar seukuran buah anggur merah. Dan saat itu terkadang terasa sakit ketika ditekan dan membuat double chin-ku semakin terlihat membesar. Bahkan bukan double chin, lebih terlihat jelas benjolan.
Bersamaan dengan itu, kakiku semakin parah jadinya. Sering kali terasa sangat sakit luar biasa apalagi di pagi hari ketika baru bangun tidur. Sampai aku betul-betul susah melakukan aktivitas apa pun. Tapi anehnya, jika siang hari tidak terasa sakit sama sekali. Dan kondisi kulitnya semakin menghitam dari mata kaki hingga bawah dan juga bersisik. Semakin gendut oleh cairan yang entah apa di dalamnya.
Tidak hanya terasa sakit, tapi juga terasa sangat panas seperti terbakar. Terlebih kakiku yang kiri juga ikut panas dan juga kedua telapak tanganku yang sama panasnya. Aku aneh sendiri menghadapinya, padahal sekujur tubuhku terasa dingin menggigil namun tidak untuk telapak tangan dan telapak kakiku.
Aneh, bukan? Kamu bisa bayangkan? Aku bisa menghangatkan sekujur tubuhku sendiri hanya dengan mengusap-usap telapak tanganku ke bagian yang dingin. Sesimpel itu tapi terasa aneh.
Bahkan, jika cuaca sedang sangat dingin, terlebih di pagi hari, teman-temanku selalu saja mendekatiku hanya sekadar menggenggam tanganku untuk menghangatkan diri.
Namun berbeda dengan Kak Ulfa, si protektif parah. Tiap kali aku bertemu dengannya, selalu saja dia mengecek keadaanku, mengecek suhu tubuhku dan juga suhu kedua telapak tanganku. Dia menyimpan curiga kalau aku terkena guna-guna. Tapi aku hanya bisa tertawa.
Omong kosongnya membuat aku tergelitik.
“Kamu lagi nggak sehat,” katanya saat memegang kedua telapak tanganku yang terasa sangat panas.
“Sehat kok,” kujawab.
“Tangan kamu lagi panas berarti kamu lagi nggak baik-baik aja sama kaki kamu. Aku udah hafal.”
Aku ketawa. “Emang lagi sedikit sakit, sih.”
“Tuh, kan. Coba deh nanti aku bantu-bantu tanya soal sakit kamu ini, ya?”
“Ke dokter?”
Kak Ulfa menggeleng. “Dokter kampung alias dukun.”
Aku hanya tertawa mendengar celetukan itu.
***
Tepat tanggal 15 November 2019. Kartu BPJS kesehatanku dari kantor sudah bisa digunakan. Aku langsung meminta rujukan ke salah satu puskesmas sesuai faskes BPJS untuk ke Dokter Bedah di rumah sakit.
“Sakit apa?” tanya salah satu perawat perempuan saat sedang memeriksa kartu BPJS-ku.
“Benjolan di bawah dagu,” jawab Ibu. “Udah gede.”
“Lho? Serius? Coba lihat.” Perawat itu menghentikan kegiatannya dan langsung menghampiriku. “Coba boleh lihat?”
Aku mengangguk.
Perawat itu meraba-raba benjolan itu. “Ini udah besar banget. Kenapa baru diperiksa?” terlihat perawat itu kaget.
Aku nyengir.
“Iya tuh ngeyel, Neng. Disuruh diperiksa waktu masih ukuran kacang hijau malah nggak mau terus,” timpal Ibuku sambil menatapku tajam.
Aku diam dan cengengesan.
“Terus itu kakinya kenapa?” tanya perawat itu ketika melihat kakiku.
“Nggak tahu,” kujawab.
“Sakit?”
Aku mengangguk. “Kadang sakit kadang nggak. Waktu-waktu tertentu doang sih. Paling malem sama pagi.”