MISTIS & MEDIS

Linda Fadilah
Chapter #7

TINDAKAN OPERASI

Selama satu bulan lebih sampai menginjak tahun 2020, aku masih teguh pendirian untuk memilih meminum obat paten dari Dr. Sumaryono dan di doping dengan obat herbal dari Pamanku. Aku masih belum bisa untuk mengambil tindakan bagaimana aku harus melangkah dan mengambil keputusan.

Hingga akhirnya... pada suatu pagi tepat pada tanggal 13 Januari 2020 ketika aku baru saja bangun tidur dan meregangkan tubuh. Aku merasa leherku terasa basah, aku pikir aku berkeringat tapi pagi itu malah terasa dingin. Aku terdiam menatap langit-langit kamar dan masih mengumpulkan kesadaran penuh. Aku mengusap leherku yang basah dan cairannya terasa lengket.

Aku menyadari bahwa cairan itu bukanlah basah keringat.

Aku mengernyit heran, aku buru-buru beranjak untuk duduk. Kembali tanganku mengusap air yang ada di leher, aku membaui aromanya tapi tidak terasa bau apa-apa. Kebetulan saat itu aku sedang memakai kaus tidur berwarna putih, kulihat ternyata di kausku bagian kerahnya ada cairan itu dan berwarna kekuning-kuningan. Aku beranjak dari duduk dan perlahan melangkah ke cermin lemari, mendongak untuk melihat kondisi leherku dan aku terkejut ternyata cairan itu bukan keringatku, melainkan cairan yang keluar dari benjolan di leherku.

Aku panik! Benar-benar panik!

Aku berteriak memanggil Ibu. “Bu ... Ibu!” aku ingin menangis, tapi aku tahan sekuat mungkin. Meski tenggorokanku sudah terasa sakit dan mataku sudah terasa panas.

Ibu datang dengan seraut wajahnya yang panik. “Kenapa? Ada apa?”

“Bu ... ini bucat,” kataku sambil menunjuk benjolan itu. (bucat=pecah)

Ibu terlihat semakin panik. “Terus gimana? Ke Dokter ya sekarang?”

“Kan, bukan jadwalnya. Nanti hari Rabu, sekarang baru Senin.”

Ibu terlihat frustrasi. “Masa mau nunggu hari Rabu?”

“Nunggu sehari doang. Lagian nggak sakit.”

“Astaghfirullah!” Ibu terlihat kesal. “Pokoknya sekarang ke Dokter!”

Aku tidak bisa berbuat apa-apa selain diam.

Sekitar pukul sembilan, aku ke rumah sakit bersama Ibu dan aku sudah izin ke atasan di kantor kalau aku tidak bisa masuk dan mereka mengizinkan.

Aku sedang menunggu pendaftaran. Sampai namaku dipanggil untuk melakukan timbang berat badan dan tensi darah sebelum menghadap ke ruangan Dr. Sumaryono.

“Kok udah kontrol? Kan, bukan jadwalnya?” kata salah satu perawat di bagian pendaftaran. Saking seringnya aku ke sana, dia sampai hafal.

“Iya, Neng, benjolannya pecah,” kata Ibu.

“Waduh, bahaya tuh, Bu. Harus segera di operasi.”

“Iya.”

Setelah selesai melakukan tensi darah dan menimbang berat badan, aku diminta untuk menunggu giliran dipanggil ke dalam ruangan dokter.

Sampai kurang lebih aku menunggu sekitar lima belas menit, akhirnya namaku dipanggil. Aku dan Ibu duduk di hadapan Dr. Sumaryono.

“Eh, kan belum jadwalnya?” tanya Dr. Sumaryono keheranan.

Aku takut sekali untuk menjawab. Akhirnya, Ibu yang buka suara. “Ini, Dok, benjolannya pecah.”

Dr. Sumaryono terlihat kaget. “Mana coba lihat?”

Aku menyikap kerudungku yang di baliknya terdapat perban yang sengaja aku pakai untuk menutupi luka sekaligus menampung aliran cairannya untuk tidak keluar.

“Ini diperban sama siapa?” tanya Dr. Sumaryono.

“Sama saya, Dok,” kata Ibu. “Cuma buat nutupin luka sama cairannya biar nggak keluar terus.”

Dr. Sumaryono terdiam. Menatapku dingin. “Jadi, sekarang mau bagaimana? Saya sudah peringatkan sejak awal untuk cepat-cepat operasi. Kalau sudah pecah begini, mau bagaimana?” Perkataannya terdengar mengintimidasi dan juga sarkastis.

Aku hanya terdiam menunduk.

“Langkah baiknya bagaimana, Dok?” tanya Ibu.

“Saya sudah bilang dari awal ... operasi. Malah ngeyel pengen obat. Sepaten apa pun obat yang saya kasih, kalau ukurannya sudah sebesar itu, tidak akan berdampak baik. Saya sudah peringatkan kalau obat hanya meringankan dan memperlambat pertumbuhan kelenjar itu, bukan untuk menghilangkan. Kalau sudah gini, mau bagaimana?”

Aku terdiam. Ibu juga. Ibu menatapku.

“Hari Rabu ke sini lagi. Kita langsung ambil tindakan operasi!” kata Dr. Sumaryono.

Hari itu, Dr. Sumaryono tidak memberiku obat apa pun. Katanya percuma juga kalau sudah dalam keadaan begitu. Jadi, aku kembali pulang dengan perasaan sedih. Dan mengambil keputusan kalau aku harus benar-benar menuruti perkataan Dr. Sumaryono untuk operasi.

***

Besoknya, aku tetap masuk kerja dan sekalian memberi kabar pada atasanku untuk izin tidak masuk kerja selama waktu yang tidak bisa aku tentukan karena aku akan dioperasi, mereka terkejut mendengarnya dan akhirnya aku diizinkan.

Selepas pulang kerja, aku merebahkan diri di kamar. Menatap langit-langit kamar dan memikirkan tentang kondisiku saat itu. Aku merasa menyesal kenapa tidak dari awal saat rujukan dari Dr. Arief untuk segera dilakukan tindakan operasi tapi aku malah ngeyel tidak mau karena takut pita suaraku terputus. Dan ujung-ujungnya kondisiku semakin parah dan daya tahan tubuhku semakin kurasai melemah.

Ditambah lagi kakiku tiba-tiba terasa sangat sakit tidak seperti biasanya, lebih berkali-kali lipat sakitnya bahkan untuk menyentuh seprai kasur saja rasanya tidak kuat. Perih. Sampai tiba-tiba kaki kiriku dengan tidak sengaja menendang kaki kananku yang sedang aku ayunkan. Aku teriak dan menangis. Kulihat, ada air yang kental keluar dari samping kakiku itu karena tergores kuku dari kaki kiriku.

Aku langsung beranjak dari tidurku dan melihat cairan itu keluar mengucur. Sama persis seperti cairan yang ada di leherku. Lengket dan tidak berbau.

Ibu masuk ke dalam kamarku, mungkin mendengar teriakanku dan juga aku menangis.

Lihat selengkapnya