Setelah tiga hari di rumah sakit, akhirnya aku dibolehkan pulang. Aku dijemput oleh Kakak iparku—istri dari kakakku yang kedua—bersama anaknya yang cantik dan lucu dan juga oleh Teh Eneng karena saat itu Bapak sedang bekerja. Saat sampai rumah, aku disambut Nenek, Kedua Kakakku dan juga kedua adikku. Nenekku menangis dan memelukku. Rasanya sangat sedih tapi aku menahan untuk tidak menangis.
Aku langsung ke kamar. Kakakku yang kedua—namanya Yoga—masuk menemuiku dan langsung menangis, dia memelukku. Rasanya aku tambah sedih karena baru pertama kali dalam sejarah kakak-beradik, aku dipeluk oleh kakakku apalagi dia sambil menangis. Akhirnya aku menangis juga.
Sementara Kakakku yang pertama—namanya Heru—dia hanya diam melamun di luar. Tapi, kata istrinya kalau sebetulnya Kakakku selalu panik tiap kali mendengar kabarku. Tapi dia memang terkenal dengan gengsinya, jadi dia tidak berani menghampiriku yang katanya takut menangis di depanku dan tidak kuat melihat kondisiku.
Hari itu, alhamdulillah banyak yang menjenguk. Dari tetangga dan teman kerja. Kak Rubi baru bisa menjengukku karena dia sibuk dengan urusan perkuliahan.
“Dedek ih ceuk aing ge tong waka balik siamah,” dia terlihat kesal. (Dedek ih ceuk aing ge tong waka balik siamah=Dedek ih kata aku juga jangan dulu pulang kamu mah)
Aku hanya bisa tertawa sedikit karena perbanku masih membatasi aku untuk tertawa. Bahkan untuk bicara saja masih kagok dan tidak terdengar jelas.
Keesokannya, sahabat-sahabat dari SMA menjenguk. Mereka heboh menanyakan keadaanku dan tidak menyangka mengapa aku bisa menjadi begini. Kami ketawa-ketawa dan bergurau, melepas rindu yang telah lama terpendam. Hingga akhirnya saat di rumahku kami jadi bisa reuni dadakan.
Hingga pada tanggal 21 Januari 2020, Bapak mengambil hasil operasiku di RSUD. R. Syamsudin SH. Aku deg-degan begitu juga dengan Ibu dan Bapak. Sebuah amplop putih berukuran besar Bapak serahkan kepadaku. Seperti membuka undian, dengan penuh hati-hati aku membuka amplopnya dan membaca hasil diagnosis operasiku. Dan aku mengidap...
Lymphadenitis tuberculosa caseosa a/e colli.
Atau dengan kata lain... TB kelenjar getah bening.
Aku terkejut, Ibu dan Bapak juga. Kami saling berpandangan dan terdiam. Tidak ada sepatah kata pun yang terucap. Ibu menangis dan memelukku, sementara Bapak pergi.
Aku terdiam. Tidak sanggup untuk menangis meski hati tersendat ingin berteriak kencang. Hatiku sakit dan tidak menyangka, kalau aku mengidap penyakit yang tidak pernah aku sangka sebelumnya.
***
Besoknya, tepat di hari Rabu aku kembali ke rumah sakit untuk kontrol dan memberikan hasil pemeriksaan operasiku dari RSUD R. Syamsudin SH karena di RS. Bhayangkara Stukpa alatnya tidak memadai untuk penelitian ini.
Dr. Sumaryono mengangguk-angguk ketika membaca hasilnya. “Berarti saya rujuk langsung ke Spesialis Paru, ya? Dr. Rofiman. Nanti harus dateng ke Faskes untuk ganti rujukan jadi ke Spesialis Paru.”
Aku mengangguk paham. Dr. Sumaryono memintaku untuk berbaring di brankar dan beliau melepas perban yang membalut leherku.
“Perban ganti,” kata Dr. Sumaryono ke perawat perempuan yang ada di sana.
Akhirnya perbanku diganti dengan yang baru dan tidak menutupi rahangku sehingga aku bisa bebas bicara dan tidak kagok.
Aku pamit dan bersalaman dengan Dr. Sumaryono dan mengucapkan terima kasih serta maaf karena aku sangat ngeyel. Dr. Sumaryono hanya tersenyum.
Hari berikutnya, aku langsung meminta rujukan ke Faskes untuk beralih ke Spesialis paru. Hingga tepat di hari Senin tanggal 27 Januari 2020 aku langsung mengunjungi rumah sakit lagi sesuai instruksi Dr. Sumaryono.
Sekitar pukul sembilan pagi, aku dan Ibu menunggu di depan ruangan Dr. Rofiman yang belum tiba. Sejauh mata memandang, banyak sekali orang yang berada di ruang tunggu bersamaku juga. Hatiku sangat miris jadinya, melihat pasien Dr. Rofiman begitu banyaknya dari berbagai usia dan kondisi. Ada yang raganya terlihat sehat sepertiku dan ada juga yang terbaring lemas dan dibalut selimut. Aku merasa ironis karena aku termasuk ke dalamnya.
Hingga pukul sepuluh tepat, Dr. Rofiman tiba ditemani perawat perempuan. Namaku dipanggil pertama dan dengan perasaan gugup dan takut, aku masuk ke dalam dan berhadapan langsung dengan Dr. Rofiman yang terlihat sangat ramah dengan senyuman dan garis wajahnya.
Dr. Rofiman melihat hasil rekam medis dan surat rujukan dari Dr. Sumaryono. “TB Kelenjar getah bening, ya?” tanyanya, menatapku.
Aku mengangguk. “Iya, Dok.”
“Oke. Nama Linda Fadilah, usia 20 tahun. Perkenalkan, saya Rofiman sebagai Dokter Spesialis Paru yang akan menangani kamu dari mulai hari ini hingga enam bulan ke depan.”
Aku kaget dan membatin; Hah? 6 bulan?
“Karena pengobatan TB Kelenjar sama seperti TB Paru,” Dr. Rofiman mengeluarkan hasil rontgenku beberapa waktu lalu sebelum operasi dalam bentuk copy scanen.
“Tapi, Dok ... apa penyakit saya menular seperti TB Paru?” kutanya.
Dr. Rofiman menghela napas. “Untuk kasus ini sangat minim dan nyaris tidak ada. Jadi, kemungkinan besar sama sekali tidak menular.”
Aku merasa agak lega. Tapi sedikit takut juga.
“Terus, penyebabnya apa, ya, Dok? Kok bisa TB Kelenjar? Padahal saya tidak punya turunan yang sakit TB,” kata Ibu.
Dr. Rofiman tersenyum. “Penyakit TB atau TBC bukan penyakit turunan, Bu. Siapa saja bisa terinfeksi. Karena penyakit ini awal mulanya dari bakteri yang namanya Mycobacterium Tuberculosis. Bakteri ini menyerang kelenjar getah bening pada tubuh manusia, ditandai dengan pembesaran atau pembengkakan pada area tertentu.”
Ibu mengangguk-angguk. “Jadi bagaimana untuk pengobatannya, Dok?”
Dr. Rofiman mengeluarkan beberapa obat dari dalam lacinya. Meletakkan di atas mejanya. Aku dan Ibu menatap obat itu dengan saksama. Ada tiga jenis obat, berwarna merah, kuning dan aku tidak ingat satunya berwarna apa.
“Ada dua tahapan dalam pengobatan penyakit TB. Pertama tahap awal atau tahap intensif,” Dr. Rofiman menunjuk obat berwarna merah. “Ini obat awal untuk pasien dan harus diminum selama dua bulan berturut-turut tidak putus. Ini wajib setiap hari. Dan jika terputus, harus diulang dari awal.”
Aku dan Ibu mengangguk-angguk paham.
Dr. Rofiman menunjuk obat yang berwarna kuning. “Dan yang kedua, ini yang dinamakan tahap lanjutan, diminum setelah masuk ke pengobatan tiga bulan. Kalau di tahap ini, kamu hanya diwajibkan minum 3× dalam seminggu. Kalau yang ini ...,” Dr. Rofiman menunjuk obat yang satunya. “Kalau ini sama saja dengan tahap lanjutan, hanya beda dosis saja.”
Aku mengangguk-angguk.