Setelah hampir dua Minggu aku meminum obat yang sempat menjadi perdebatan antara Apoteker dan Dokter itu, tiba-tiba aku mengalami perubahan dalam diriku. Bukan membaik, tapi justru malah memburuk.
Ada pembengkakan di leherku—tepatnya di bagian sisi kanan dan memanjang sampai ke tengah di lekukan tenggorokan bagian bawah, di antara tepi tulang selangka—yang membesar dan terasa sakit. Ukurannya kurang lebih seluas dua jari.
Aku bilang ke Ibu ketika sudah merasa tidak nyaman seperti ada yang mengganjal dan terasa sakit ketika aku menelan, ditambah lagi banyak dahak yang keluar padahal aku tidak sedang flu atau batuk.
Akhirnya, pada kontrol selanjutnya, tepat di tanggal 15 April 2020 dan aku kembali di arahkan ke IGD untuk menemui Dokter jaga karena Dr. Rofiman belum juga kembali.
“Dok, ini kenapa ya di leher saya kok ada bengkak lagi? Malah ini besar dan sakit,” kataku saat Dokter memeriksa keadaanku.
Dokter itu mengecek benjolan di leherku sambil ditekan-tekan sedikit dan terasa sangat sakit sampai aku meringis. “Sepertinya ini pengaruh obat atau efek samping.”
“Bukan tumbuh lagi?” kutanya.
“Nggak. Minum obatnya rutin nggak? Seminggu 3 kali?”
“Iya rutin.”
“Bangun tidur? Keadaan perut kosong?”
Aku mengangguk.
“Ya udah, nggak ada apa-apa,” kata Dokter lagi. “Ini cuma efek samping aja.”
Aku kembali diberi resep seperti dua Minggu lalu. Saat itu aku kembali yakin untuk tidak melanjutkan, tapi Ibu malah memarahiku karena menyayangkan aku sudah masuk pengobatan tahap lanjut. Akhirnya, aku mempercayai perkataan Dokter itu.
***
Perban yang ada di leherku sudah bisa dilepas dan lukanya pun sudah mengering. Hanya saja masih terasa linu. Namun, tidak untuk kakiku. Luka di kakiku masih mengeluarkan cairan yang semakin hari semakin banyak. Bengkaknya pun semakin bertambah besar tapi tidak terlalu sakit. Dan parahnya lagi, justru rasa sakit dan bengkak itu menyerang kaki kiriku. Sama halnya seperti yang aku alami di awal kaki kananku. Sama persis. Sampai menghitam, bersisik dan terasa begitu sangat panas. Lebih panas dari kaki kananku.
Kondisi kakiku sama sekali tidak ada perubahan, ditambah lagi dengan kondisi leherku yang mengalami pembengkakan yang semakin membesar. Lengkap sudah rasa sakit yang kualami.
Hingga pada kontrol selanjutnya tepat tanggal 29 April 2020 dan bertepatan bulan suci Ramadhan dan aku berpuasa. Aku meminum obat setiap tengah malam, sebelum sahur yang sebelumnya aku sudah minta izin pada Dokter jaga itu dan diperbolehkan.
Saat itu, aku tidak diarahkan ke IGD lagi dan aku diinfokan bahwa Dr. Rofiman sudah kembali. Lega rasanya. Sampai tiba giliranku dipanggil untuk diperiksa.
Aku langsung mengeluh soal benjolan yang tumbuh di leherku. “Dok ... ini kenapa, ya? Ada benjolan di sini dan terasa sakit,” aku menyikapi kerudungku dan memperlihatkan benjolan itu.
Dr. Rofiman terlihat kebingungan. “Lho? Kok bisa?” Dr. Rofiman menyentuh benjolan itu.
Beliau buru-buru melihat rekam medisku dan surat kontrol yang diberikan Dokter jaga itu. “Siapa yang periksa?” tanya Dr. Rofiman dengan nada suara panik.
“Nggak tahu, Dok. Dokter jaga di IGD ... cewek,” kujawab.
Dr. Rofiman tiba-tiba keluar dari ruangan tanpa pamit dan permisi. Sementara aku dan Ibu masih di dalam ruangan bersama perawat.
“Kenapa itu, Neng?” tanya Ibu ke perawat.
“Nggak tahu, Bu,” jawabnya.
Cukup menunggu lama, akhirnya Dr. Rofiman tiba dan kembali duduk. Kembali melihat rekam medisku dan meminta kepada perawat itu untuk mengambil beberapa berkas yang aku tidak tahu. Pokoknya, saat perawat itu kembali, membawa sebuah map.
“Ganti obat, ya?” kata Dr. Rofiman padaku.
Aku mengernyit bingung. “Kenapa, Dok?”
“Kemarin kamu salah obat. Seharusnya masih minum yang tahap satu, bukan yang lanjutan.”