29 Mei 2020.
Tepat di hari Jumat. Aku dan Ibu kembali ke rumah sakit untuk mengambil surat rujukan dari Dr. Camelia dan hari itu juga aku izin untuk tidak masuk kerja.
Hari itu aku langsung ke RS. Islam Assyifa untuk melakukan USG leher sesuai arahan Dr. Camelia. Seingatku, aku ke RS Islam Assyifa sekitar pukul sembilan pagi melakukan pendaftaran dan administrasi. Hingga aku diminta untuk menunggu.
Kulihat sekeliling banyak sekali pasien yang mengantre tapi khususnya ibu-ibu hamil yang akan mengecek kandungan. Meski ruangan pemeriksaan antara USG kandungan dan USG leher berbeda, tetapi ruang tunggunya tetap sama. Sekitar dua jam aku menunggu, akhirnya namaku dipanggil. Ibu menangis dan menciumku. Dan berkata, “Semoga baik-baik aja. Bismillah, ya.”
Aku masuk ke dalam ruangan sendirian—Ibu menunggu di luar—di dalam ada Dokter perempuan sedang duduk di hadapan mejanya. Ada alat kedokteran, brankar, begitu juga dengan alat USG. Dokter itu menyapa dengan ramah dan ceria, Aku dipersilakan duduk di kursi di hadapan Dokter.
Dokter itu memeriksa surat rujukan dari Dr. Camelia, lalu menatapku.
“Namanya Linda Fadilah, ya?” tanyanya.
Aku mengangguk dan tersenyum. “Iya, Dok.”
“Lagi menjalani pengobatan TB kelenjar, ya?”
“Iya, Dok.”
“Sudah tahap lanjut? Apa masih tahap intensif?”
“Sudah tahap lanjut, Dok. Tapi bulan lalu sempat salah obat, jadi ada tumbuh kelenjar lagi di bagian leher.”
Dokter itu terlihat kaget. “Oh, iya? Coba saya lihat.”
Aku menyingkap kerudungku dan Dokter itu melihat benjolan di leherku.
“Sakit?” tanyanya. Dan aku mengangguk. “Boleh saya pegang?”
“Boleh, Dok,” kataku.
Dokter itu meraba benjolanku, sedikit menekan-nekan dan terasa sakit begitu juga linu.
“Panjang begini, ya?” tanyanya. “Sudah lama?”
“Sekitar ... satu bulanan kalau tidak salah,” kujawab.
“Kok bisa salah obat, sih?”
“Iya ... waktu itu Dr. Rofiman lagi ke Wisma Atlet ditugasin ke sana dan yang handle itu Dokter jaga. Mungkin salah kasih obat yang seharusnya masih tahap intensif tapi dikasih tahap lanjut.”
Dokter itu hanya menggelengkan kepala. Lalu berdiri. “Ya sudah, sekarang kita periksa, ya? Semoga nggak ada apa-apa.”
Aku mengangguk. Dan ikut berdiri mengikuti instruksi dari Dokter itu untuk berbaring di brankar dan diminta untuk melepas hijabku.
“Keluhannya apa selama muncul benjolan lagi?” katanya sambil menyalakan alat USG itu dan mempersiapkan semua.
“Sakit, terus sesak napas, ada rasa kagok kalau nelen, terus sering mudah capek.”
Dokter itu mengangguk-angguk.
“Oke, sekarang kita periksa, ya? Boleh mendongak?”
Aku mendongak dan leher belakangku diganjal bantal. Dokter mengoleskan semacam cairan kental dan lengket ke permukaan leherku, terasa dingin.
Kemudian, Dokter memegang sebuah benda yang terhubung dengan layar monitor itu—berbentuk panjang dan ujung bawahnya berbentuk bulat—yang disebut probe.
Tidak ada percakapan lagi. Hening. Hanya denting dari alat USG yang mengisi keheningan di dalam ruangan yang kedap suara itu. Dokter terlihat fokus menatap layar monitor itu dengan tangan kirinya sibuk menekan-nekan semacam keyboard dan tangan kanannya sibuk menggerakkan probe di leherku sedikit demi sedikit. Aku hanya bisa menatap sekitar dan sesekali mengamati wajah serius Dokter itu.
Seluruh permukaan leherku—depan dan belakang—diperiksa dan diolesi gel itu. Sampai kurang lebih dua jam setengah—seingatku—pemeriksaan selesai dan aku dipersilakan membersihkan cairan yang ada di leherku pakai tisu.
Aku merapikan diri sementara Dokter kembali ke tempatnya dan mengutak-atik komputer di atas mejanya. Aku kembali duduk di depan Dokter, lalu Dokter berkata,
“Nanti hasilnya keluar hari Selasa, ya? Tanggal 2 Juni. Nanti bisa diambil lagi ke sini, ya?”
Aku mengangguk. “Baik, Dok.”
“Semoga hasilnya baik, ya?” Dokter itu senyum.
Aku senyum dan mengangguk. “Amin. Terima kasih, Dok.”
Setelah itu aku keluar dan menemui Ibu yang sedang mengobrol dengan orang lain. Saat aku kembali, Ibu langsung bertanya dengan panik dan cemas.
“Gimana?” tanya Ibu.
“Udah,” kataku. “Nanti hasilnya diambil hari Selasa.”
“Ya udah. Sekarang mau ke Bunut?” tanya Ibu. (Bunut=sebutan untuk RSUD. R. Syamsudin SH)
“Iya, biar sekalian aja,” kataku. “Biar nanti nggak izin terus.”
“Ya udah hayu.” (hayu=ayo)
Siang itu di hari yang sama, aku dan Ibu bergegas ke rumah sakit Bunut yang jaraknya lumayan jauh dari RS. Islam Assyifa. Aku ke sana naik angkot dan kakiku masih terasa sakit.
Sesampainya di sana, terlihat banyak sekali pasien yang mengantre dan terlihat sangat padat. Karena RSUD R. Syamsudin SH ini adalah rumah sakit yang bisa dibilang “Utama” di Sukabumi. Banyak rujukan dari rumah sakit lain untuk ke rumah sakit Bunut ini. Karena selain perlengkapan dan alat-alatnya yang lengkap, begitu juga dengan bangunan rumah sakitnya yang bisa dibilang terbesar di Sukabumi.
Saat Ibu bertanya ke bagian pendaftaran, aku dan Ibu diminta untuk datang hari Senin saja karena melihat antrean yang begitu panjang yang tidak memungkinkan untuk aku cepat-cepat diperiksa. Hingga akhirnya, aku dan Ibu memilih pulang.
***
Hari Minggu tepat tanggal 31 Mei 2020 pagi-pagi Bapak tiba-tiba masuk ke kamarku.
“Hayu siap-siap,” kata Bapak sambil duduk di tepi kasurku.
Aku kebingungan dan mengernyit heran. “Ke mana?’