Sore menjelang malam. Aku, Ibu dan Bapak kembali pulang ke Sukabumi. Tidak ada obrolan di sepanjang perjalanan. Hanya kesunyian yang penuh dengan tanda tanya besar. Ibu dan Bapak pun seolah mengerti yang aku rasakan dan terlihat dari seraut wajah mereka mendalami penyesalan. Walau mencoba untuk mengajakku bicara atau pun sekadar mengudang tawa.
Namun tidak berhasil! Aku masih tetap diam.
Setiba di rumah, Aku mengurung diriku, bahkan tidak ada seorang pun yang boleh menggangguku. Aku menangis, marah, kecewa dan benci terhadap semua ini, rasanya Aku ingin mati. Aku ingin tidak ada di dunia ini lagi. Lenyapkan Aku dari semuanya! Aku ingin tidak ada yang melihatku. Tidak ada yang melihat bagaimana terpuruknya aku!
Sebelum pulang, Ustaz berpesan padaku untuk kembali lagi ke tempat itu hari Selasa karena pengobatan untukku tidak cukup hanya sekali dan itu harus dilakukan sebanyak tiga kali. Namun, aku tolak mentah-mentah dengan alasan aku sibuk bekerja. Tapi sebenarnya sungguh aku tidak percaya apalagi sampai ada benda-benda macam begitu di dalam sebuah telur?
Mustahil kurasai.
Belum lagi kulit perut bagian bawahku melepuh dan mengalami luka bakar tepat di mana telur itu diletakkan. Rasanya sangat perih, sakit dan panas.
Hingga keesokannya. Tepat hari Senin tanggal 01 Juni 2020 aku dan Ibu kembali ke RSUD. R. Syamsudin SH untuk melakukan pemeriksaan di laboratorium sesuai arahan Dr. Camelia.
Awalnya, aku dirujuk ke Dokter Spesialis Penyakit Dalam di RSUD. R. Syamsudin SH terlebih dahulu untuk pemeriksaan sebelum akhirnya aku diarahkan langsung ke laboratorium untuk mengecek, apa yang sebenarnya terjadi pada benjolan yang tumbuh kembali di leherku.
Pagi itu, kulihat antrean sangat padat sekali. Ternyata bukan hanya aku yang akan melakukan cek laboratorium, begitu banyak dari segala usia. Banyak bayi yang menangis dan meronta-ronta, banyak lansia yang terbatuk-batuk lemas, banyak suara yang kudengar di sana. Aku sampai miris melihatnya dan merasa sangat sedih karena aku termasuk ke dalam orang-orang itu.
Hingga menunggu cukup lama, akhirnya namaku dipanggil. Sementara Ibu menunggu di luar dan aku di persilakan duduk di sebuah kursi sampling dengan alat-alat kedokteran canggih di sampingnya. Aku merasa gugup dan deg-degan, aku mulai berkeringat padahal di dalam ruang pemeriksaan itu terasa dingin ber-AC.
Aku diminta melemaskan seluruh ototku, terutama otot tangan yang akan diambil sampel darahku. Cairan alkohol dioleskan ke bagian lekukan siku tangan kananku, seorang perawat perempuan mengambil sampel darah. Lumayan banyak yang kulihat di dalam sebuah botol berukuran kecil. Setelah selesai, aku diminta untuk tetap tinggal sebentar karena akan dilakukan pengambilan darah kedua kalinya di lengan kiriku.
Setelah menunggu sekitar lima belas menit, akhirnya kembali perawat itu mengambil sampel darahku, tapi untuk kali ini tidak sebanyak darah yang diambil di tangan kanan. Untuk selanjutnya akan dilakukan pengecekan. Perihal untuk mendeteksi adanya kondisi hipotiroid atau hipertiroid pada tubuhku.
Akhirnya semua kulalui dengan lancar. Semua prosesnya selesai hingga aku diminta untuk menunggu hasilnya keluar tepat di tanggal 3 Juni. Aku mengangguk paham dan keluar menemui Ibu. Saat itu aku langsung pulang. Hatiku berdebar kencang, menduga-duga apa yang aku alami dari hasil laboratorium dan juga USG tiroid. Pikiranku mengawang dengan segala praduga yang belum pasti hasilnya.
***
Tepat keesokan harinya, tanggal 02 Juni 2020 aku kembali ke RS. Islam Asyifa untuk mengambil hasil dari USG leherku. Aku diberi sebuah Map berwarna hijau dengan tulisan di sampul “ULTRASONOGRAFI” Lengkap dengan data diriku di bawahnya. Saat kubuka map itu, terdapat 11 foto hasil USG tiroidku dan selembar kertas hasil dari pemeriksaan Radiologi dan banyak penjelasan di sana yang aku tidak mengerti. Hanya ada satu yang aku paham, yakni di bagian saran: Biopsi.
Biopsi adalah tindakan mengambil sampel dari bagian tubuh, untuk mendapatkan jaringan yang diperlukan dalam pemeriksaan mikroskopis yang akan menentukan apakah jaringan tersebut adalah jaringan normal atau patologis. Dan saat itu aku langsung berpikir; Apakah aku harus melakukan operasi lagi?
Keesokannya, tepat tanggal 03 Juni 2020 sekitar pukul dua siang, aku dan Ibu mengambil hasil pemeriksaan darahku di laboratorium Rumah sakit Bunut. Aku melihat ada sedikit penjelasan di lembaran itu, tapi tetap saja, aku tidak paham.
Hingga rasa penasaranku terjawab ketika aku kembali kontrol ke Dr. Camelia keesokannya, di sore hari saat aku baru saja pulang bekerja.
Dr. Camelia menganggukkan kepala ketika melihat hasil dari Laboratorium dan USG leherku. “Bagus. Ini hasilnya tidak ada apa-apa. Tapi, jika ingin tahu lebih lanjut dan lebih detail lagi. Sebaiknya dilakukan biopsi.”
“Berarti ... harus operasi lagi, Dok?” kutanya.
Dr. Camelia mengangguk dengan senyumannya yang ramah. “Betul sekali.”