Oktober 2020.
Manajer tempatku bekerja telah memberitahu pada kami perihal bersiap-siap untuk menyambut HUT Toserba yang akan diadakan tepat di akhir bulan Oktober. Segala sesuatu sudah kami siapkan, begitu juga dengan berbagai acara yang akan diselenggarakan.
Semua orang disibukkan dengan tugasnya masing-masing menyiapkan segala sesuatu dan support untuk memeriahkan acara. Saat itu kebetulan aku masuk Shift siang, jadi aku harus menyiapkan segala sesuatu itu dengan maksimal untuk menyambut esok pagi. Namun tiba-tiba, aku merasakan sakit di kaki kananku, kulihat cairannya semakin banyak keluar padahal saat pagi sama sekali tidak banyak. Aku bergegas ke ruang karyawan untuk mengambil tisu sebagai penutup luka, sampai kaus kakiku saja basah oleh cairan itu.
Rasanya perih.
Aku kembali ke area untuk pemasangan label diskon dan POP (point of purchase) potongan harga di berbagai titik. Hingga sekitar pukul delapan malam, semua selesai. Saat itu, kami ditugaskan untuk sekalian bersih-bersih di area lorong masing-masing, seperti menyapu dan mengepel. Semua melakukan itu secara bergantian dikarenakan peralatan pel dan sapunya yang terbatas, jadi kami harus saling tunggu-menunggu.
Hingga tiba di giliranku. Aku baru saja selesai menyapu dan berniat kulanjutkan untuk mengepel. Aku bertanya ke salah satu temanku yang baru saja selesai mengepel.
“Kak ... pel-nya disimpan di mana?” teriakku.
“Di samping gondola kamu,” balasnya berteriak.
Akhirnya aku berjalan menuju ujung gondola display yang terpencil, tempat menyimpan sesuatu di sana begitu juga dengan sapu, tangga dan pel. Aku mengambil gagang pel itu, saat aku menariknya, di bagian kainnya aku melihat dengan jelas seekor kelabang berukuran besar dan panjang yang berjalan masuk ke dalam kain pel yang aku pegang. Refleks aku melempar pel-an yang aku genggam itu dan aku melangkah mundur.
Sangat geli rasanya karena aku sangat phobia dengan hewan yang tidak punya kaki. Meskipun kelabang punya kaki sih, tapi bentuknya menggelikan!
Aku gemetar dan bingung. Aku melihat sekeliling yang saat itu tidak ada siapa pun. Hingga datang salah satu temanku—Ajeng.
“Mana pel?” tanyanya sambil menghampiriku.
“Tuh,” kataku sambil menunjuk pel yang semula aku lempar.
Ajeng mengambilnya dan aku mencegahnya. “Ih, Jeng ... ada kelabangnya di dalem.”
Dia mengernyit heran. “Kelabang?” tanpa diduga, dia justru mengibaskan kain pel itu.
Aku melangkah mundur menjauh sambil merasakan kegelian yang tiba-tiba membuat bulu kudukku meremang. “Jangan di sini di kibasinnnya atuh, Ajeng.”
Dia mencibirkan bibir, setelah melihat tidak ada apa pun yang keluar dari kain pel itu. “Mana? Nggak ada!”
“Ih, di dalemnya,” kataku sambil menunjuk kain pel itu.
Ajeng berjongkok dan menyingkap helai demi helai kain pel itu. Dan benar saja, tidak ada sama sekali.
Ajeng menatapku dengan kedua alisnya terangkat sambil menunjuk kain pel itu. “Lihat, tidak ada, bukan?” Dia kembali berdiri. “Geus ah urang heula nu ngepel. Maneh mah lila.” (Geus ah urang heula nu ngepel. Maneh mah lila=Udah ah aku dulu yang ngepel. Kamu mah lama)
Dia melengos pergi.
Aku masih terheran-heran dengan penglihatanku. Aku berani bersumpah kalau aku melihat kelabang itu masuk ke dalam kain pel itu. Aku tidak salah lihat! Tidak lama aku melemparnya, Ajeng mengambilnya. Tidak mungkin secepat itu untuk kelabang sebesar yang aku lihat bisa langsung pergi tanpa terlihat. Sampai karena penasaran, aku melihat-lihat ke kolong gondola display dan mengecek seluruh penjuru tempat penyimpanan itu.
Tetap tidak aku temukan.
Aku dibuat tertegun dan tidak percaya, bahwa aku melihat makhluk itu yang dipercaya sebagai makhluk jelmaan. Tapi tunggu ... aku jadi teringat saat pertama kali Ibu melihat kelabang itu di depan sajadah dan Ibu berteriak heboh.
Aku jadi berpikiran, apakah mitos itu nyata?
Tapi aku tidak memikirkan hal itu. Aku berusaha berpikir positif bahwa apa yang aku lihat hanya seekor kelabang sebagai binatang biasa, aku beranggapan tidak menjurus ke hal gaib. Namun, kakiku kembali terasa nyeri dan nyut-nyutan.
Aduh... Aku sampai meringis kesakitan.
Aku menepi dan berjongkok, bersembunyi di balik floor display tempat pajangan barang-barang di luar gondola display. Aku membuka kaus kakiku dan juga tisu yang menutupi lukanya kini sudah mengering kaku oleh karena cairan itu, melihat kondisi kakiku yang betul-betul terlihat mengenaskan, aku jadinya merasa miris sekali. Cairan yang semula berwarna bening, berubah menjadi kuning. Ketika aku mencium aromanya, sama sekali tidak mengeluarkan aroma apa pun.
***
Ketika aku sampai rumah. Aku bergegas ke kamar mandi untuk bersih-bersih dan berganti pakaian mengenakan baju tidur. Tiba-tiba benjolan di leherku terasa sakit, aku bergegas bercermin di kamar untuk melihat kondisi benjolan itu. Betapa terkejutnya aku ketika menyadari benjolan itu pecah—iya, pecah!
Posisi pecahnya tepat di tengah-tengah di lekukan tenggorokan bagian bawah, di antara tepi tulang selangka. Cairan di dalam benjolan itu keluar dan sama persis seperti cairan yang ada di dalam kelenjarku saat itu.
Aku buru-buru memanggil Ibu dan Ibu bergegas ke kamarku dengan panik.
“Ada apa?” tanya Ibu.
“Ini kok pecah?” kataku sambil menunjuk ke arah benjolan itu.
Ibu mengernyitkan dahi. Terlihat seraut wajahnya terkejut dan panik. “Lho, lho, kok bisa?” Ibu mendekat dan mengamati lebih jelas lagi benjolan itu. “Tutup pakai perban dulu, ya?”
Aku mengangguk.
Akhirnya Ibu bergegas mengambil perban dan menutupi benjolanku itu. Dengan tujuan agar cairannya tidak terus keluar.
“Ke Dr. Rofiman lagi, ya?”