Seiring berjalannya waktu. Kondisi kakiku semakin memburuk, belum lagi terasa sangat panas seperti terbakar sama seperti kedua tanganku yang sama panasnya. Sama persis ketika awal-awal aku merasakan gejala itu. Pun kondisi benjolan yang sempat pecah itu masih saja mengeluarkan cairannya dan terasa perih.
Hingga aku merasa lelah dan aku berada di puncak pasrah.
Sampai ada waktu di mana aku tidak mau Shalat.
Entah mengapa aku pun tidak mengerti mengapa ini bisa terjadi padaku. Aku tiba-tiba malas dan enggan untuk menunaikan kewajiban dan perintah Allah. Bukan karena aku marah atau kecewa pada Allah. Na’uzubillahiminzalik, tidak pernah! Meski sesekali aku merasa bahwa tidak ada keadilan untukku tapi aku tidak pernah menyalahkan Allah sedikit pun.
Maafkan aku ya Allah.
Sungguh, saat itu keimananku terhadap Allah mulai di uji. Aku tidak mau melaksanakan Shalat, tidak mau lagi membaca ayat-ayat yang diinstruksikan Mak Emi, apalagi untuk mengaji. Bahkan, ketika Kak Rubi yang selalu gencar mengajakku Shalat, tidak aku dengar sama sekali. Jangankan Kak Rubi, Azan yang berkumandang saja tidak aku pedulikan.
Aku hanya dan selalu menyuruh mereka Shalat, tetapi aku sendiri tidak melaksanakannya. Hingga banyak orang-orang menceramahiku soal dosanya tidak melakukan kewajiban dan perintah Allah, tapi saat itu seolah telingaku ditutup. Hatiku dikunci dan pikiranku tidak sampai ke arah sana.
Entah apa yang merasukiku hingga aku dengan perasaan tanpa dosa dan bersalah, tidak mengindahkan perkataan mereka. Meski dalam hatiku yang paling dalam, sebetulnya aku menangis. Sangat bersedih, mengapa aku jadi begini? Ragaku tidak bisa melawan perubahan keimanan dalam diriku.
Aku selalu cuek melihat orang lain beribadah. Bahkan Kak Rubi saja sering kali memarahiku tapi aku hanya diam dan selalu berkata; “Kakak aja dulu yang Shalat, aku titip.”
“Maneh pikir Shalat teh barang? Gelo! Burukeun Shalat maneh!” Kak Rubi saat itu benar-benar marah, tapi ya begitu, aku sama sekali tidak mengindahkan. Aku tetap teguh pada pendirian dan memilih untuk diam. (Maneh pikir Shalat teh barang? Gelo! Burukeun Shalat maneh!=Kamu pikir Shalat itu barang? Gila! Cepetan Shalat kamu!)
Hingga ada waktu di mana aku pulang bekerja. Tepat saat itu baru saja Azan Ashar dan aku berleha-leha di kamar Nenek sampai pukul lima sore. Ibu yang menyadari aku belum Shalat, akhirnya menghampiriku.
“Shalat dulu, udah mau akhir. Jangan di akhir-akhir. Pamali,” kata Ibu.
“Hm,” aku membelakangi Ibu dan memejamkan mata.
Ibu menepuk pahaku. “Cepetan Shalat sebelum Umi yang turun tangan.”
Aku hanya diam. Bahkan sampai Ibu berkali-kali memintaku untuk menunaikan Shalat, aku masih dalam posisiku. Hingga akhirnya Ibu menyerah dan mengerahkan Nenekku yang super galak kalau masalah ibadah.
Nenek membuka pintu kamar secara paksa dan keras. Hingga aku terlonjak kaget dan refleks menatap ke arah pintu. Kumelihat Nenek sudah berdiri dengan seraut wajahnya yang terlihat marah.
“Shalat!” satu kata tapi terdengar menekan dan penuh perintah.
Biasanya, kalau Nenek yang turun tangan langsung, aku selalu langsung menurut. Namun untuk kali itu, aku sama sekali tidak mengindahkan dan justru membelakangi Nenekku. Seolah tidak peduli dan menutup telinga. Aku kembali memejamkan mata.
“Eh ... buruan Shalat! Udah sore jangan tidur! Pamali!”
“Ngan hayoh we pamali!” bentakku tanpa sadar. “Udah ah sana keluar, berisik!”
Nenek kembali marah. Namun, untuk kali itu aku tidak mendengarkan celotehan Nenek yang membuat aku pada akhirnya menutup seluruh kepalaku dengan bantal. Hanya untuk menyamarkan teriakan Nenek yang memekakkan telinga.
***
Teman-temanku sudah lelah. Bahkan Kak Rubi pun sudah pasrah dan tidak lagi kuasa untuk menceramahiku perihal panasnya api neraka dan seramnya siksa kubur kalau tidak melaksanakan Shalat akan dibelit oleh ular raksasa. Saat itu aku betul-betul tidak peduli. Aku hanya nyengir tanpa merasa takut sedikit pun.
Aneh!
“Aku nyuruh kalian Shalat juga, aku dapat pahala. Jadi, pahalaku dari situ,” kataku ketika aku berada di musala bersama Kak Rubi, Kak Ulfa dan Yayu yang akan melaksanakan Shalat Ashar.
Yayu tertawa. “Gelo sugan! Iya dapat pahala, tapi luntur lagi, lha. Orang nggak Shalat.”
“Gelo!” bentak Kak Rubi. “Percuma juga kamu nyuruh orang Shalat tapi kamu sendiri malah nggak.”
“Tapi, kan, kakiku sakit,” kataku yang selalu menjadikan itu senjata tiap kali teman-temanku menyuruhku Shalat.
“Jangan dijadiin alasan. Kaki kamu sakit, kamu bisa sambil duduk. Kamu nggak kuat duduk? Bisa sambil tiduran. Allah baik, bisa dengan cara apa pun kamu beribadah kalau emang kamu taat dan niat.”
Aku mengangguk-angguk. “Iya, Kak, udah sana Shalat. Aku titip aja.”
Kak Rubi menatapku dingin. Dia menggelengkan kepala, Yayu juga. Mereka akhirnya mengalah berdebat denganku karena lelah juga sepertinya.
Kak Ulfa yang belum Shalat tetapi sudah memakai mukena, berjongkok tepat di hadapanku, dia menatapku intens. “Kenapa sih nggak mau Shalat?”
Aku mengangkat bahu, tidak tahu. “Nggak tahu, aneh aku juga.”
“Coba lawan. Itu pengaruh dari sakit kaki kamu. Kalau kamu nggak lawan, mereka menang.”
Aku terdiam. Menundukkan kepala. Tidak menjawab perkataan Kak Ulfa.
Alhasil, Kak Ulfa masuk ke dalam shaf Shalat antara Kak Rubi dan Yayu.
Tidak lama, aku mendengar ada seseorang yang datang dan duduk di sebelahku. Aku refleks menoleh dan melihat Anisa yang bersiap-siap menunggu waktu pulang.
“Hei,” sapanya. “Gimana kaki?”
Aku mengangkat bahu. “Ya ... gini, we. Masih sakit.”
Anisa menatap kakiku dan berpaling menatapku. “Masih diobatin?”