Sudah sering kali Ibu dan Nenek memarahiku perihal aku tidak mau beribadah. Aku pun merasa ada perubahan signifikan pada diriku sendiri. Cahaya dari wajahku seolah-olah menggelap dan terlihat begitu kusam. Belum lagi aku yang kurus dan tidak berdandan. Aku saat itu tidak peduli dengan kondisi diriku bagaimana dilihat orang-orang, aku sungguh cuek dan bodo amat.
Saat itu, aku sudah betul-betul sangat pasrah akan hidup. Prinsipku hanya menjalani sisa hidupku dengan apa adanya, menikmati setiap gulir waktu yang terasa sangat lambat. Aku tidak pernah lagi memikirkan soalan laki-laki dan beranggapan bahwa tidak mungkin ada laki-laki yang mau padaku, apalagi melihat kondisiku.
Aku merasa semakin lelah untuk menjalani segala aktivitas. Seakan aku hilang jejak untuk melanjutkan kehidupan, luntang-lantung tak tahu arah tujuan. Duniaku, kenanganku, kebahagiaanku seolah lenyap terhempas waktu.
Rasanya hampa. Kosong. Tidak berarah.
Hingga Ibu dan Bapak mengkhawatirkan kondisiku. Aku bahkan tidak seceria dulu, lebih banyak diam dan mengurung diri di dalam kamar Nenek. Karena sejak aku melihat adanya ular di jendela kamar, aku tidak pernah mau lagi menginjakkan kaki di kamarku.
Hingga kamarku dibiarkan kosong.
“Teh ... siap-siap,” kata Ibu yang saat itu menghampiriku ketika aku baru saja pulang bekerja dan sedang berleha-leha di kamar Nenek.
“Siap-siap apaan?” tanyaku masih dalam posisi berbaring.
Ibu duduk di tepi ranjang, menatapku. “Bapak mau bawa berobat alternatif lagi.”
Aku berdecak. Rasanya lelah sekali tiap kali Ibu bilang begitu yang berujung tidak ada hasil apa pun. Bahkan Mak Emi saja sudah tidak kuat menangani keluhan penyakitku ini.
“Ah, udahlah nggak usah,” kataku dengan sedikit intonasi suara agak kesal. “Tetep aja kayak gini nggak ada perubahan.”
“Tapi kan kita ikhtiar dulu,” kata Ibu dengan suara lembut. “Iya emang Allah yang sembuhin, tapi kan bisa aja lewat orang yang di ikhtiarin. Jadi kayak jembatan.”
Tidak lama, Bapak datang menghampiriku. Kulihat Bapak sudah berpakaian rapi dan bersiap-siap mengajakku pergi. “Yuk, udah siap?”
Aku terdiam. Masih dalam posisiku dengan memasang wajah kesal.
“Hayu cepetan, sebelum Magrib,” kata Bapak lagi.
Kalau Bapak yang sudah turun tangan, aku tidak bisa untuk mengelak apalagi untuk menolak. Akhirnya, mau tidak mau aku beranjak dari posisiku dan perlahan berjalan untuk bersiap berganti pakaian.
***
Sekitar empat puluh lima menit waktu yang kutempuh, akhirnya aku tiba di sebuah rumah di daerah Gekbrong. Aku masuk ke dalam rumah itu, kumelihat ada seorang Ibu-ibu memakai kerudung panjang dan berdaster sedang duduk dan tersenyum ke arahku. Aku membalas senyumannya karena kalau tidak, akan dianggap tidak sopan.
Sebisa mungkin aku mengubah raut wajahku untuk tidak terlihat kesal atau tidak suka. Terlebih Ibu-ibu itu terlihat sangat ramah jadi aku harus menyesuaikan.
Aku dipersilakan duduk lesehan bersamanya, Ibu dan Bapak.
Template-nya masih tetap sama dengan orang-orang yang dipercayai sebagai orang pintar yang aku temui sebelumnya. Aku ditanya-tanya perihal yang aku alami, keluhanku dan berbagai macam pertanyaan yang sebetulnya aku lelah untuk menjawab.
Selepas itu, aku diminta untuk menyelonjorkan kakiku di hadapannya. Aku menurut. Kulihat beliau mulai mengusap kakiku dengan bibirnya komat-kamit yang aku tidak tahu bacaan apa yang beliau lontarkan.
Tidak terasa apa-apa sama sekali. Dan proses itu berlangsung cukup lama hingga aku merasakan punggungku terasa sangat pegal.
Hingga prosesnya selesai dan kulihat beliau sudah membuka matanya dan menatapku. “Aura si Neng sekarang gelap banget,” katanya.
Aku mengernyit tidak terima. Apa maksudnya?
“Sosok hitamnya nempel udah deket banget,” katanya lagi, menatap Ibu dan Bapak. “Susah buat dilepasinnya.”
“Jadi gimana, Bu?” tanya Ibuku.
“Nanti saya kasih penangkalnya.”
Beliau meminta dua botol air mineral ke Ibu yang sebelumnya Ibu sudah diminta untuk membawa dua botol air mineral dan juga satu gendul bawang putih. Ibu menyerahkan botol air mineral dan bawang putih itu.
Lalu, kulihat beliau menghancurkan bawang putih itu sambil memejamkan mata dan bibirnya komat-kamit membaca mantra. Entah doa. Pokoknya begitu. Lalu, dimasukkan bawang putih yang sudah dihancurkan itu ke dalam satu botol dan kembali ditutup.
Sementara satu botolnya lagi dibacakan doa dan setelah selesai, beliau meniup botol mineral itu.
“Nanti, botol air yang ada bawangnya disiram di sepanjang jalan mau pulang, ya? Sama niat buat buang penyakit si Neng.”
Ibu dan Bapak mengangguk, sementara aku mengernyit heran. Tidak mengerti apa maksud dari membuang air itu di jalanan? Nanti kalau kena pengendara lain, bagaimana? Aku takut akan menjadi besar urusannya.
“Terus satu botolnya yang ini ...,” beliau memberi satu botol yang tidak ada bawangnya. “Pakai buat mandi sama minum, ya? Insya Allah auranya Neng jadi cerah lagi. Terus yang ngikut Neng insya Allah pergi.”
Aku hanya mengangguk-angguk.
Lalu beliau mengeluarkan sesuatu dari belakang punggungnya, sebuah stoples yang berisi dupa gaharu yang berbentuk kerucut. Awalnya aku tidak tahu itu apa, bentuk dan warnanya seperti tanah liat. Kukira hanya semacam hiasan. Namun, dugaanku ternyata salah ketika aku mendengar beliau berkata;