Tepat di hari yang sama, pukul setengah tujuh pagi aku masuk kerja. Kebetulan saat itu aku sedang Shift pagi. Aku memilih untuk tidak ikut apel pagi karena kondisi tubuhku masih terasa lemas. Aku hanya tidur tiga jam, rasa lelah itu masih sangat terasa.
Kamu bisa bayangkan bagaimana kondisiku saat itu? Pusing tujuh keliling. Rasanya berat sekali kepala ini.
Saat itu aku tiba paling awal. Belum ada siapa pun yang datang dan aku memilih untuk diam di musala. Kunyalakan semua lampu ruang karyawan lantai dua yang semula gelap gulita. Meski sebetulnya agak ngeri berada dalam kegelapan sendiri. Tetapi aku berusaha beranikan diri, tidak peduli dengan situasi mencekam seperti itu, karena hidupku sudah lebih mencekam dan ... horor.
Aku mengirim pesan pada Kak Rubi,
“Kak, di mana?”
Kak Rubi membalas,
“Masih di rumah. Kenapa?”
“Aku di musala, nanti langsung ke sini ya, jangan ikut apel.”
Kak Rubi membalas,
“Oke.”
Aku menatap sekitar dan masih sepi. Sunyi. Pekat tanpa suara. Hanya terdengar suara bising dari mesin pompa air yang menderu seolah menjadi teman di kala sendiri. Alhasil, aku memilih untuk berbaring. Berharap rasa pusing, lelah, lemas yang menguasai diriku perlahan-lahan lenyap.
Ya, aku hanya butuh istirahat!
***
Aku tidak sadar kalau aku ketiduran. Tiba-tiba aku mendengar suara riuh di sekelilingku, saat kuterbangun, kudapati Kak Rubi sudah ada di sebelahku sambil mengobrol dengan Kak Ulfa dan Yayu.
Menyadari aku sudah bangun, mereka langsung menatapku.
Aku beranjak untuk duduk, aku regangkan tubuhku yang terasa begitu pegal.
“Arek gawe arek molor?” tanya Kak Rubi. (Arek gawe arek molor?=Mau kerja mau tidur?)
Aku nyengir. Aku melirik jam di dinding dan menunjukkan pukul tujuh pagi lebih.
“Peuting urang teu sare edan,” kataku sambil geleng-geleng kepala. “Lieur,” aku memijit kepala yang masih terasa sangat berat. (Peuting urang teu sare edan=Malem aku nggak tidur gila) (Lieur=Pusing)
“Kunaon gawe atuh?” tanya Kak Rubi. (Kunaon gawe atuh?=Kenapa kerja?)
“Iya ih, nanti kamu tambah pusing ih,” kata Kak Ulfa. “Kenapa nggak tidur?”
“Sakit kaki aku euy,” kataku. “Semalem sakit banget parah. Sekitar jam sebelas—gitu—sampai subuh jam empat.”
Mereka terlihat terkejut.
“Gelo,” kata Yayu sambil berdecak dan geleng-geleng kepala. “Kok bisa?”
Aku mengangkat bahu, tidak tahu.
Kak Rubi dan Kak Ulfa diam. Menatapku.
“Yang kerasa sakit yang mana?” tanya Kak Rubi.
“Yang kanan,” kujawab. “Semalem yang kanan perih pisan gelo. Kayak luka yang basah gitu, terus ke gores seprai kasur. Beuh, mantap.”
Mereka meringis ngeri sambil menatap kaki kananku.
“Sekarang masih sakit?” tanya Kak Ulfa.
“Masih,” kataku. “Sakit biasa aja ning. Bukan perih. Pegel. Semalem mah perih pisan.”
“Aneh, ya?” Yayu mengernyit heran. “Tapi Dokter malah nggak tahu penyebabnya, ya?”