Malam-malam berikutnya aku masih selalu begitu. Berturut-turut tanpa jeda sedikit pun, merasakan sakit yang sungguh sangat luar biasa dan tidak bisa aku ungkapkan dengan kata-kata bagaimana rasa sakit itu bertubi-tubi menyerangku dan tidak memberi celah untuk aku merasakan ketenangan dalam tidur setiap malam.
Sering kali aku merasakan pusing yang tak berujung di pagi hari hingga malam, karena kurang istirahat dan seringnya menangis. Bahkan, bukan hanya aku yang merasa pusing demikian, tetapi seluruh keluargaku yang telah menjadi saksi kejadian nahas yang aku alami.
Pernah satu malam, ketika kejadian itu kembali datang. Aku dengan sadar merasakan sakit itu perlahan menyerangku, dari mulai sakitnya terasa nyut-nyutan hingga kian lama kian terasa perih dan aku belum menangis. Aku terbangun tepat tengah malam dan berusaha sekeras mungkin menahan untuk tidak menangis. Aku tidak mau membangunkan Nenek yang selalu histeris bilamana sakit kakiku kambuh.
Aku menggigit bibir kuat-kuat, berusaha keras menyamarkan suara isak tangisku yang tidak bisa lagi aku sembunyikan. Memang lemah sekali diri ini. Tetapi mau sebagaimana aku menguatkan diri, tetap saja pertahanan yang aku bangun setinggi angkasa dengan sangat kokoh, bisa ambruk juga seiring rasa sakit itu seolah mengajakku bercanda.
Tapi ini tidaklah lucu.
Sakit dadaku menahan tangis yang tidak bisa aku ledakkan. Memendam sendirian di dalam kesunyian, di tengah mimpi indah orang-orang yang tertidur lelap. Aku berusaha kuat untuk tidak mengganggu semua orang. Aku tidak mau kalau aku harus menyita banyak waktu mereka oleh karena mengkhawatirkan kondisiku.
Malam itu, aku bertekad untuk merasakan segala rasa sakit yang hinggap dalam tubuh sendirian. Ya, aku pasti bisa! Hingga bibirku terasa mulai sakit dan berdarah, namun sakitnya tidak setara dengan kakiku yang kian lama justru sakitnya malah berpindah-pindah. Kaki kiriku kini kebagian jatahnya.
Aku berteriak dalam diam. Kamu paham? Menjerit keras dalam hati hingga terasa sesak dan amat sakit. Lengkap sudah sakit luar dalam yang aku rasakan malam itu.
Hingga aku tidak lagi kuat menahannya sendirian, aku menyambar ponselku dan entah kenapa terbesit dalam pikiranku untuk menghubungi Anisa dan Kak Rubi. Meski aku tahu mereka sudah tertidur lelap di dunia mimpi.
Aku mengirim pesan ke mereka berdua dengan satu kalimat yang sama,
“Kakiku sakit. Aku nggak kuat. Kayaknya aku mau mati!”
Mereka tidak membalas.
Jelas! Pasti mereka sudah tidur. Aku tahu itu.
Aku tidak berharap balasan mereka.
Kasarnya, aku mengirim pesan ke mereka hanya ingin meluapkan isi hati dan kepala yang aku tahan sekuat tenaga hingga menjadi emosi yang begitu menggebu hebatnya, yang bisa aku lampiaskan hanya dengan cara menyakiti diri sendiri. Memukul kepalaku bertubi-tubi, menjambak rambut frustrasi, bahkan aku menendang masing-masing kaki yang terasa justru semakin sakit.
Apa aku bodoh? Ya, aku akui itu. Aku yang menyakiti diri ini, aku yang merasakan sakit itu sendiri. Aku tidak tahu lagi harus bagaimana menyikapi diri, harus bagaimana aku berbuat untuk sekadar menurunkan kadar rasa sakit yang menyerang kakiku.
Bodohnya aku saat itu, seolah tidak percaya kalau keajaiban itu ada. Keajaiban bahwa aku bisa sembuh seperti sediakala.
Hingga tidak sengaja teriakan yang semula aku tahan dalam-dalam justru melesat keluar dari bibirku dan berhasil merenggut mimpi indah Nenekku.
Nenek terperanjat kaget mendengar suara teriakanku. Beliau langsung beranjak dan duduk bersamaku dengan seraut wajah histeris, kaget, panik, cemas dan khawatir.
“Kenapa?” tanya Nenek sambil memegangi kedua bahuku.
Aku tidak menjawab, hanya menggeleng. Tapi Nenek tidak sebodoh itu, melihatku menangis dan kaki kananku sudah terangkat, beliau sudah paham bahwa aku tidak baik-baik saja dan penyakit mistis itu kembali menyerang dan merenggut mimpi indahku.
Nenek tidak lagi berkata, beliau turun dari kasur dan bergegas membuka pintu. Belum juga Nenek keluar, ternyata di luar kamar sudah ada Ibu, Bapak dan adikku yang paling bontot. Kebetulan, kedua Kakakku sudah pulang.
Mereka terbangun, mungkin karena mendengar teriakanku yang lepas kendali. Sementara bersamaan dengan itu, aku mendengar suara motor keluar dari rumah. Ternyata, itu Wildan yang dimintai Ibu untuk menjemput Paman. Karena Ibu paham, ada sesuatu buruk yang terjadi padaku.
Ibu dan Bapak langsung menghampiriku, duduk di tepi ranjang dekatku. Sementara adikku yang bontot diminta Bapak mengambil gelas air mineral.
Aku hanya menangis, tidak bisa berkata. Hingga Ibu, Nenek dan Bapak bersama-sama membaca surah Al-Fatihah dan Ayat Kursi bersamaan, selagi menunggu Paman tiba.
Aku kembali berteriak. Lantunan ayat suci Al-Qur'an yang dibacakan membuat kakiku semakin sakit tak karuan, terlebih tubuhku mendadak panas. Aku menggeliat seperti cacing kepanasan, menahan kakiku supaya tidak menyentuh seprai.
Hingga akhirnya kudengar suara motor berhenti di halaman rumah dan pintu utama terbuka. Kemudian aku melihat Paman masuk kamar sembari menggelengkan kepala dengan seraut wajah terkejut dan pandangannya mengitari sekitar, seperti melihat sesuatu yang melayang di langit-langit kamar.
Ibu dan Bapak menyingkir, membiarkan Paman mengerjakan tugasnya.
Template-nya tetap sama. Kedua tanganku kembali ditahan oleh adikku.
Tidak ada percakapan malam itu, hanya lantunan ayat-ayat Al-Qur'an yang mengisi kamar bercampur dengan irama tangisan.
Kawan, apakah kamu bisa bayangkan bagaimana malam-malam yang aku lalui? Bahkan saat itu aku membenci malam, takut untuk menghadapinya, tidak siap untuk melewati kejadian yang sungguh sangat menyakitkan.
Rasa sakit yang menusuk dan emosi berpadu serasi seolah meledak-ledak mengutukku selama ini.