Di penghujung bulan November dan tepatnya beberapa hari lagi menuju training dan gethring itu dilaksanakan. Aku kebetulan saat itu masuk shift pagi. Aku, Kak Rubi dan Kak Ulfa istirahat di salah satu rumah makan.
“Dek, katanya mau training ke Bandung?” tanya Kak Rubi.
Aku mengangguk sambil mengunyah makanan.
“Kamu ikut?”
Aku mengangguk lagi.
“Ih goblok, kenapa ikut?” tanyanya dengan intonasi suara khasnya, membentak. “Sakitu suku nyeri oge lin?” (Sakitu suku nyeri oge lin?=Segitu kaki sakit juga, kan?)
Aku mengangguk. “Dipaksa soalnya. Katanya ini wajib.”
“Kata Asep?”
Aku mengangguk.
“Udah bilang ke Bu Retno belum?” tanya Kak Ulfa. “Minta izinnya ke dia deh jangan ke Asep.”
“Udah,” kataku. “Jawabannya ya tetep sama. Wajib.”
“Padahal tadinya aku mau ajak kamu ke Jampang,” kata Kak Rubi.
Aku mengernyit heran. “Ngapain?”
“Tanya soal kaki kamu itu.”
Aku mencibirkan bibir. “Em, katanya nggak percaya sama yang begituan?” kataku sedikit agak meledek. “Kenapa tiba-tiba ngajak?”
Kak Rubi memutar bola matanya malas. “Aku penasaran. Sebenernya bukan aku yang mau bawa kamu, tapi si Helda.”
Aku mengernyit heran. “Hah? Kak Helda?” aku sebetulnya sedikit agak syok mendengar itu. Karena yang mengetahui penyakit kakiku ini hanya Kak Rubi, Kak Ulfa dan Anisa. Selebihnya tidak ada yang tahu.
Kak Rubi mengangguk. “Aku terpaksa cerita tentang kamu ke dia, soalnya dulu Kakak Iparnya apa kakaknya gitu—lupa—pernah kayak kamu gitu. Terus katanya dibawa ke Jampang dan langsung sembuh. Jadi, apa salahnya kamu nyoba? Aku nggak tega aja lihat kamu sakit terus, apalagi ingkud. Aku temenin ke sana, pokoknya aku mau ikut.”
Kak Ulfa mengangguk. “Ilmu Jampang itu manjur, lho. Tahu sendiri, kan? Jampang terkenal dengan berbagai Ilmu Gaib?”
Kak Rubi mengangguk-angguk.
Aku bergeming. Mengalihkan pandanganku ke arah lain sambil menyedot gelas es teh manis. Aku tidak marah sama sekali, sungguh. Sangat tidak. Hanya saja aku menimbang-nimbang ajakan Kak Rubi. Dalam hatiku saat itu berkata, Apa aku harus mencoba?
***
Hari itu akhirnya tiba. Hari di mana keberangkatanku ke Bandung. Pukul tiga dini hari, aku sudah berangkat dari rumah dan menuju Bogor bersama dengan yang lain dari divisi Sukabumi dan Cianjur karena start awal dari Bogor bersama dengan divisi cabang lain, yang selanjutnya kami semua menaiki bus pariwisata menuju Bandung.
Kami semua menikmati perjalanan dari Bogor menuju Bandung via tol Cipularang dengan karaoke bersama di dalam bus. Canda, tawa mengisi perjalanan kami hingga tidak ada yang tertidur dan tiba di Bandung sekitar pukul sepuluh pagi.
Beberapa atasan dari berbagai cabang bergantian menanyakan kondisiku. Terlebih laporan dari Pak Asep mengenai kakiku sudah tersebar luas, jadi mereka penasaran apa yang telah terjadi padaku dan juga penyakit kelenjar getah bening yang menyerangku beberapa waktu lalu.
Mereka memperingatiku untuk selalu jaga kesehatan, terlebih jadikan pelajaran dengan segala penyakit yang menyerangku. Aku diberi banyak wejangan dari mereka dan juga semangat yang tidak putus selalu aku dapatkan. Hingga aku sangat bersyukur bahwa aku masih di kelilingi oleh orang-orang yang masih peduli padaku.
Terima kasih ya Allah.
Hal selanjutnya pertama kali kami kunjungi yaitu tempat wisata The Great Asia Afrika Lembang. Kumerasa kakiku mulai sakit nyut-nyutan ketika bus baru saja berhenti di pelataran, terlebih lagi saat itu aku memakai sepatu sneakers yang mendadak tidak muat di kaki kananku. Padahal sebenarnya sepatu itu masih terasa longgar jika kakiku dalam keadaan normal.
Padahal, Ibu sudah mewanti-wanti untuk aku memakai sandal saja, tetapi aku malah mengeyel karena aku malu dilihat orang-orang dengan kondisi kakiku yang semakin menghitam dan membengkak. Aku tidak siap dengan segala pertanyaan yang akan menggulir dari mulut ke mulut orang-orang yang penasaran, belum lagi segala tatapan iba begitu juga dengan tatapan jijik.
Aku sungguh sangat malu.
Kala itu, aku izin untuk tidak ikut turun, aku ingin diam saja di bus sendirian. Tidak apa. Daripada aku tersiksa kalau harus berjalan, lebih baik aku cari aman.
“Nggak. Kamu harus ikut,” kata Pak Wenas—salah satu atasanku dari Bogor—yang sedari awal bertemu denganku selalu memperhatikanku, memperhatikan kakiku. “Masa mau sendirian di dalam bus? Kamu juga harus nikmati tempat wisata di dalam dong.”
“Tapi sakit, Pak,” kataku. “Saya di sini aja, nggak apa.”
Pak Wenas terdiam, beliau menatapku dan berpaling menatap kakiku dengan iba. “Kamu bawa sandal, nggak?”
Aku mengangguk. “Bawa, Pak.”
“Mana coba saya lihat.”
Aku mengeluarkan sandalku dari dalam tas. “Ini, Pak.”
Pak Wenas mengernyit menatapku. “Lha, itu kecil di kaki kamu.”
Aku tersentak kaget.
Aku memang bawa sandal seukuran kaki normalku, hingga aku baru tersadar bahwa perkataan Pak Wenas memang benar. Tidak akan cukup di kaki kananku.
Ya ampun!
Pak Wenas mengeluarkan sandalnya dari dalam tas. Menyerahkannya padaku. “Pakai yang saya aja. Jangan pakai sepatu, biar kaki kamu bisa enak geraknya. Kalau pakai sepatu makin ke teken malah makin bengkak jadinya.”
Ya ampun aku malu!
Aku ragu untuk mengambil sandal itu. Namun, atasanku yang lain justru memaksaku untuk menerima pemberian Pak Wenas. Begitu juga dengan Pak Wenas yang memaksaku juga hingga aku menjadi pusat perhatian orang-orang sekitar.
Alhasil, aku menerima sandalnya dan aku pakai. Terasa pas di kaki kananku, meski panjang sekali tetapi luasnya pas untuk kakiku yang bengkak.
Saat itu, pelataran The Great Asia Afrika masih banyak bebatuan besar—lebih tepatnya belum aspal—aku jadi kebingungan sekali. Melihat banyak batu besar dan runcing aku sudah meringis, hingga aku dipapah oleh beberapa orang dengan perlahan, mencari batu yang landai untuk kakiku berpijak. Beberapa atasanku termasuk Pak Wenas dan Pak Asep berjalan di belakangku, mungkin memastikan aku berhasil melewati rintangan bebatuan itu.