MISTIS & MEDIS

Linda Fadilah
Chapter #20

PENGGEBRAK HATI

Paginya. Kami semua berkumpul untuk menikmati sarapan bersama dan tanpa di duga, semua yang ada di sana bercerita pengalaman mistis yang mereka alami masing-masing di dalam kamar.

Ada yang televisinya hidup dan mati sendiri, ada yang membuka pintu lemari dan toilet, ada yang mendengar tertawa anak kecil dan ada juga yang melihat anak kecil sedang berdiri di dekat pintu lemari.

Aku sampai terkejut mendengarnya. Ternyata bukan hanya aku saja yang mengalami hal mistis mendengar pintu toilet terbuka dengan sendirinya. Di tengah kegemparan, Teh Risna berkata,

“Aku juga denger tahu waktu pertama kita masuk, Lin, tapi aku diem,” katanya sambil nyengir.

Aku tertegun mendengar pernyataan Teh Risna yang mengejutkan. Kukira dia tidak mengalami apa pun dan terlihat biasa-biasa saja gerak-geriknya. Pantas saja, dia memilih tidur di dekat pintu masuk di banding dekat lorong menuju toilet, nyatanya dia sudah mendengar itu sejak awal.

Dan aku dijadikan tumbal.

“Jadi, pilih tidur di deket pintu masuk karena udah tahu?” kutanya dan Teh Risna cengengesan.

Setelah selesai. Kami semua berkumpul di ruang meeting dan benar saja apa yang dikatakan Pak Asep bahwa ada para petinggi perusahaan yang hadir. Kami semua gugup bukan kepalang, takut ditanya sesuatu yang tidak bisa kami jawab.

Akhirnya, semua berjalan dengan lancar. Tidak ada hambatan apa-apa dan tidak ada pertanyaan yang menjebak, meski ketegangan sangat mendominasi ruangan.

Sekitar kurang lebih empat jam—seingatku—meeting selesai. Kami diminta untuk ke halaman hotel dan kulihat sudah ada beberapa bahan permainan di sana. Semua permainan dominan harus berlari untuk merebutkan kemenangan dan aku diminta untuk tidak ikut serta.

“Kamu diem aja, jangan ikutan,” kata Pak Wenas. “Lihatin aja di pinggir, ya?”

Aku mengangguk dan tersenyum. “Iya, Pak.”

Aku hanya menatap keseruan di tepi halaman—jauh dari posisi mereka bermain—layaknya seperti menonton pertandingan benteng Takeshi. Ya, karena permainannya macam begitu.

Terlihat menyenangkan dan rasanya aku ingin ikutan.

Canda, tawa, teriakan, sorak-sorai, tepuk tangan, terdengar sangat meriah penuh suka cita dan kebahagiaan. Tergambar dari seraut wajah mereka penuh dengan senyuman. Aku tersenyum getir dan menatap miris kakiku yang beralaskan sandal milik Pak Wenas.

Aku menghela napas jengah dan membatin; Sampai kapan aku harus merasakan penderitaan ini? Apakah ada secercah harapan kebahagiaan yang akan aku rasakan, lagi?

***

Sekitar pukul dua dini hari, aku baru sampai rumah. Rasanya sungguh sangat lelah sekali dan lemas. Aku bergegas bersih-bersih dan aku langsung tidur. Malam itu, tidak terjadi apa-apa. Aku merasa nyaman dan tertidur pulas.

Hingga paginya, tepat pukul tujuh aku bangun. Kumerasa sekujur tubuhku pegal-pegal, mungkin karena efek kelamaan di perjalanan. Kebetulan, hari itu aku libur bekerja. Jadi, bisa kupakai untuk beristirahat penuh di kamar.

Aku melihat ponsel yang baru selesai aku isi daya baterai. Banyak pesan masuk dan salah satunya dari Kak Helda.

“Lin, aku udah denger cerita dari Ubi tentang kamu. Aku nggak nyangka kamu bisa gitu. Terus Ubi udah ngomong belum?”

Aku terdiam sejenak, mengingat-ingat Kak Rubi pernah bicara apa padaku?

Oh! Soal dia ingin membawaku ke Jampang.

Aku membalas,

“Iya Kak Hel, gimana?”

Kak Helda membalas,

Aku anter yuk ke tempatnya, emang agak jauh. Pak Ustaz gitu. Kakak aku juga pernah ada yang jahilin gitu dan setelah dibawa ke sana, alhamdulillah sembuh.”

Nanti aku bilang Ibu dulu ya, Kak.”

“Oke, Lin.”

Saat itu aku langsung bilang ke Ibu ketika Ibu mengantar makanan ke kamarku.

“Ya udah terserah kalau mau ikhtiar lagi mah, nggak ada salah,” kata Ibu. “Jampangnya di mana?”

Aku mengangkat bahu, tidak tahu. “Nggak tahu, katanya agak jauh. Nanti Kak Rubi juga pengen ikut katanya.”

“Ya udah ajakin aja. Nanti bilang ke Bapak dulu.”

“Iya,” kataku.

Siangnya. Uwa-ku—kakak dari Bapak—berkunjung ke rumah untuk menemui Nenek. Uwa langsung memanggilku dan aku langsung menghadap. Aku duduk di hadapan Uwa.

Lihat selengkapnya