Siang itu. Bertepatan aku masuk shift pagi dan setelah selesai istirahat, Aku, Kak Rubi dan Kak Ulfa melipir ke musala konsumen yang ada di lantai tiga untuk Shalat.
Namun, seperti biasa, aku hanya sebagai penonton dan pengingat untuk Kak Rubi dan Kak Ulfa untuk segera Shalat.
Aku memilih duduk di pojokan musala untuk menunggu Kak Rubi dan Kak Ulfa mengambil Wudu sekalian menjaga barang-barangnya. Kumelihat banyak sekali orang yang sedang menunaikan ibadah Shalat. Keheningan mencuat dan aku mengamati setiap orang yang sedang khusyuk beribadah kepada Sang Khalik.
Perkataan Paman selalu saja berseliweran dan bercokol tepat di kepalaku. Aku menundukkan kepala, merenungkan setiap kata yang Paman ucapkan yang tidak akan pernah aku lupakan. Pundakku ditepuk, aku langsung menoleh dan mendapati Kak Rubi sedang menyimpan kerudungnya di sampingku.
“Kamu yakin nggak mau Shalat?” tanyanya sambil memakai mukena.
Aku terdiam, menatap orang-orang.
“Shalat, yuk, Dek, yuk?” ajak Kak Ulfa dengan seraut wajah girang.
“Sakit ah kaki,” kataku.
“Kamu bisa duduk,” kata Kak Rubi.
Aku tersenyum tipis. “Malu.”
“Malu kenapa?” tanya Kak Rubi dengan seraut wajah bingung.
“Malu sama siapa?” tanya Kak Ulfa.
“Sama orang-orang yang Shalat di sini,” kataku sambil agak sedikit berbisik. “Malu nanti lihatin aku.”
Kak Rubi, kumelihat dia menghela napas. Dia menatapku intens. “Malu sama orang? Orang, kan, manusia? Manusia ciptaan Allah dan kamu lebih malu sama yang diciptainnya daripada yang ciptain?”
Aku terperangah mendengar perkataan Kak Rubi. Kembali aku merasa tertampar realita dan perasaanku campur aduk.