MISTIS & MEDIS

Linda Fadilah
Chapter #22

PENANGKAL

Aku terbangun ketika telingaku mendengar suara riuh di luar kamar, bersamaan dengan suara Azan berkumandang. Kulihat jam di dinding menunjukkan pukul setengah lima pagi. Aku meregangkan tubuh dan beranjak untuk duduk, mengumpulkan seluruh kesadaranku. Aku mengerjap berkali-kali dan sesekali mengucek mataku, menyeimbangkan gradasi yang membuat retinaku seolah beradaptasi.

Kamu tahu, aku sudah tidak merasakan sakit di kakiku setiap malam. Terakhir kali hanya saat di Bandung, itu pun sebentar dan digantikan dengan ada yang menarik kakiku entah siapa.

Setelah kurasai sudah terkumpul semua nyawa, akhirnya kakiku menjejak lantai. Terasa dingin seperti menusuk. Maklum, dinginnya lantai pagi memang selalu seperti itu di daerahku. Aku kembali mengangkat kaki, untuk sejenak beradaptasi dengan suhu lantai untuk sekadar bisa menyeimbangkan suhu kakiku yang terasa panas dan lima menit kemudian aku kembali menjejakkan kakiku di lantai lalu berdiri, berpegangan pada lemari dan tembok sebagai penopangku, perlahan aku melangkahkan kaki untuk membuka pintu. Aku mengintip di balik daun pintu yang sedikit terbuka dan celingak-celinguk menatap sekitar.

Tidak ada siapa pun. Mungkin mereka sudah kembali ke dalam kamar masing-masing untuk melaksanakan Shalat Subuh.

Aku perlahan membuka pintu dan melangkah menuju toilet untuk mengambil Wudu. Setelah selesai, aku dikejutkan oleh kehadiran Ibu yang tiba-tiba ada di pintu masuk, bertepatan aku akan keluar dan Ibu akan masuk.

“Ngapain?” tanya Ibu.

“Wudu,” kujawab. “Punteun mau lewat.”

Kulihat seraut wajah Ibu terperangah tak percaya mendengar jawabanku. Ibu tidak berkata apa-apa selain diam dengan bibir sedikit menganga. Akhirnya Ibu menepi dan memberiku jalan untuk lewat.

Aku kembali ke kamar dan menutup pintu, tetapi tidak rapat dan memang selalu seperti itu.

Aku akhirnya melaksanakan Shalat dengan duduk di kursi meja rias. Ketika sedang Takbiratul ihram, dari ujung mataku, kumelihat seperti ada seseorang yang berdiri di balik pintu kamarku. Aku tidak mengindahkan dan berusaha khusyuk Shalat. Hingga aku mendengar gumam pelan suara Ibu yang berkata;

“Alhamdulillah Ya Allah.”

***

Siangnya. Seperti biasa setelah istirahat pasti saja kami melipir ke musala untuk melaksanakan Shalat. Saat itu, Kak Rubi kembali mengajak aku dan Kak Ulfa untuk Shalat di lantai tiga tepatnya musala konsumen. Karena memang tidak terlalu ramai dan juga terasa nyaman.

Awalnya, Kak Rubi dan Kak Ulfa yang mengambil air Wudu dan melaksanakan Shalat sementara aku hanya diam menunggu, sekalian menjaga barang-barang mereka. Saat itu, suasana musala tidak seramai kemarin, terbilang sepi tidak dan terbilang ramai pun tidak. Biasa-biasa saja. Hingga akhirnya Kak Rubi dan Kak Ulfa selesai Shalat, mereka menghampiriku untuk touch up.

Aku beranjak dari duduk dan membuat mereka mengarahkan pandangannya mengikuti pergerakanku.

“Mau ke mana?” tanya Kak Rubi.

“Ke sini, bentar,” kujawab dan Aku melangkah meninggalkan mereka untuk mengambil Wudu.

Ketika aku kembali dengan kondisi wajah basah dan kerudung bertengger di bahu, membuat Kak Rubi dan Kak Ulfa melongok melihatku. Apalagi ketika aku mengambil mukena yang tergantung tepat di sebelah mereka.

“Dek ... ngapain?” tanya Kak Rubi yang kulihat wajahnya masih melongok.

“Kamu ... mau Shalat?” tanya Kak Ulfa dengan intonasi suara hati-hati.

Aku nyengir. Tidak menjawab pertanyaan mereka dan memilih untuk masuk ke Shaf di samping orang yang sedang Shalat.

Tiba-tiba, tanpa diduga aku mendengar suara lantang Kak Rubi yang berucap, “ALHAMDULILLAH! DEDEK IH AING TEU NYANGKA.”

Aku refleks menoleh dan melotot, memberi isyarat dengan telunjuk diletakkan di depan bibir untuk tidak berisik. Kak Rubi refleks menutup bibir sementara Kak Ulfa tertawa tanpa suara.

Lihat selengkapnya