MISTIS & MEDIS

Linda Fadilah
Chapter #23

PERUBAHAN SIGNIFIKAN

Bisa dibilang, aku sungguh sangat takut untuk memakai benda penangkal yang diberi Paman. Kurasai bahwa itu jimat yang bisa saja mengocek sugesti dan pemikiranku akan adanya keajaiban dari benda itu dan akhirnya membuatku percaya jikalau memang terbukti benar adanya, bisa melindungiku dari hal negatif yang hendak hinggap dalam diriku.

Sama halnya seperti benda pusaka keris yang dipercayai orang-orang memiliki kekuatan magis dan dapat diyakini masyarakat sebagai benda pusaka pembawa keberuntungan. Padahal sama sekali tidak ada kaitannya, jika memang benar ada, kuanggap itu hanya sugesti orang-orang oleh karena sudah sepenuhnya percaya. Padahal, semua keberuntungan Allah yang takdirkan, bukan?

Namun, terlepas dari itu, aku tidak ingin terlalu terobsesi akan hal itu, aku meneguhkan diri bahwa hanya Allah Maha Pelindung dari segala pelindung. Bisa jadi penangkal yang diberi Paman hanya untuk sebagai pembatas bagai tirai besi yang tidak bisa ditembus oleh makhluk tak kasat mata. Atau dari orang jahat yang berusaha ingin menjahili.

Jadi aku menghargai.

Esoknya. Aku mengikuti saran Paman meski dengan perdebatan dengan Ibu sebelumnya. Aku sebetulnya tidak mau memakai itu karena aku takut akan masuk ke dalam hal musyrik. Tetapi Ibu meyakinkanku bahwa itu hanya sebagai pelindung lebih untuk menjagaku dari gangguan atau yang mengikuti dari makhluk tak kasat mata.

Memang terdengar sangat tabu di khalayak umum dan tidak semua orang mempercayai termasuk aku.

Namun, untuk kali itu aku memilih memakainya dan berharap pada Allah semoga saja ini tidak termasuk ke dalam kategori musyrik.

Na’uzubillahiminzalik.

Aku pakai di balik bajuku dengan peniti sebagai alat untuk merekatkan antara baju dan kain itu. Aku juga mengikuti instruksi Paman untuk selalu membaca doa yang diinstruksikan padaku, terlebih ketika aku berada di tempat kerja dan untuk kali pertama aku merasakan seluruh bulu kudukku meremang ketika aku menginjakkan kaki di gudang.

Biasanya tiap kali aku ke gudang, mau jam berapa pun itu, tidak pernah aku merasakan takut dan merinding. Tetapi, untuk saat itu, kali pertama aku merasakan keanehan dalam diriku. Padahal, saat itu aku ke gudang sore hari dan banyak sekali orang yang mengambil barang bersama. Tapi entah kenapa aku merasa merinding di tengah keramaian.

Aku tidak bilang siapa pun.

Hingga malamnya. Kami digemparkan oleh kabar bahwa di musala karyawan ada perempuan yang tengah kesurupan. Kami semua panik dan penasaran, lalu merapat ke lokasi untuk menyaksikan apa yang sebenarnya terjadi. Dan untuk kali pertama, aku melihat dengan mata kepalaku sendiri seseorang yang kerasukan sedang meronta-ronta dan menangis.

Semua orang yang ada di sana diminta untuk membaca surah Al-Fatihah namun dengan satu permintaan, jangan lihat matanya.

Kunaon eta?” tanya Kak Rubi berbisik padaku. (Kunaon eta=Kenapa itu?)

“Ih buta!” balasku sedikit agak kesal. “Pan kesurupan ih.” (Pan kesurupan ih=Kan kesurupan ih)

“Iya, maksudnya dari mana dia kok bisa kesurupan?”

Aku mengangkat bahu, tidak tahu.

“Emang ada gitu, ya, setan di sini?” tanyanya lagi.

Loba, termasuk maneh,” kataku. (Loba, termasuk maneh=Banyak, termasuk kamu)

“Goblok!” kata Kak Rubi sambil mendorong bahuku. “Maneh tah!” (Maneh tah!=Kamu tuh)

Aku ketawa, dia juga. Tapi kami langsung dapat peringatan untuk tetap membaca doa. Akhirnya kami diam dan melanjutkan untuk berdoa.

Perempuan itu semakin meronta ketika salah seorang bapak-bapak—karyawan juga tapi aku tidak ingat namanya—berusaha membacakan doa sembari memegang ubun-ubunnya. Entah bagaimana bisa, kami semua mendengar dengan jelas perempuan itu berkata sambil cekikikan, “Ah, teu rame. Padahal karak oge asup. Geus ah urang arek balik.” (Ah, teu rame. Padahal karak oge asup. Geus ah urang arek balik.=Ah, nggak seru. Padahal baru juga masuk udah ah aku mau pulang)

Setelah berbicara seperti itu, perempuan itu jatuh pingsan.

“Rese amat jurigna,” kata salah satu karyawan cewek di sebelahku. Aku meliriknya dan aku tidak kenal. (Jurigna=Hantunya)

Eta tadi nu ngomong jurug lain?” tanya Kak Rubi. (Eta tadi nu ngomong jurigna lain?=Itu tadi yang ngomong hantunya bukan?)

Aku mengangkat bahu, tidak tahu. “Mereun.” (mereun=mungkin)

Lihat selengkapnya