Hari indah dan harapan yang selama ini aku nantikan akhirnya telah datang. Doaku selama ini telah dikabulkan Allah. Kesabaran dan keikhlasan dengan aku menerima semua cobaan ini telah terbayar oleh kesembuhan.
Kebahagiaan yang tidak ternilai adalah kesembuhanku.
Kini, aku bisa melakukan apa pun untuk hidupku yang telah hilang. Untuk kenangan yang telah usang.
Saat itu, Paman datang ke rumahku dengan senyuman ramahnya, memberitahu padaku bahwa semuanya sudah selesai. Awalnya, aku tidak paham apa maksudnya itu. Namun, Paman bilang bahwa aku sudah terbebas dari penyakit kakiku dan juga sosok hitam yang telah lama mengikutiku hingga mengocek keimananku telah pergi. Paman tidak memberitahu aku perginya ke mana sosok itu, namun Paman berpesan padaku untuk terus beribadah dan mendekatkan diri pada Allah SWT.
Aku senang bukan main. Aku bahagia mendengar kabar itu. Benar saja perubahan signifikan yang aku rasakan dalam diriku terlebih pada kondisi kakiku jauh sangat lebih baik.
Air mataku luruh secara tiba-tiba membasahi pipi, aku tertawa getir dengan perasaan haru. Berharap semua ini bukanlah mimpi atau sebatas kebahagiaan fatamorgana yang kembali lenyap di telan harapan besar dan hanya sebatas angan. Namun, ternyata semua ini nyata.
Iya, nyata!
Dan hal pertama yang aku lakukan ketika kakiku sudah tidak lagi terasa sakit dan bengkak, bahkan lukanya dengan sendirinya tertutup rapat adalah menjejakkannya di atas permukaan tanah dengan beberapa kerikil kecil dan aku sama sekali tidak merasakan sakit. Rasa menginjak permukaan tanah yang kasar tanpa alas kaki ini nyaris aku lupa bagaimana rasanya. Kurasai sangat aneh dan menggelitik.
Aku bisa lagi berjalan dengan sangat lancar, aku bisa berlari ke sana ke mari dengan bebas, aku bisa melompat setinggi yang aku bisa tanpa harus merasakan sakit yang luar biasa. Perasaan yang telah hilang kini kembali datang.
Kawan ... saat itu aku bisa tersenyum lebar dan tertawa lepas. Tanpa segala beban pikiran yang menghantuiku tiap kali aku memejamkan mata dan melamun sendirian.
Kawan ... aku bisa merasakan bagaimana kupu-kupu kebahagiaan itu hadir dalam hati dan pikiranku, seolah mengerumuni setiap saraf-saraf yang ada dalam diriku.
Aku sungguh merasakan euforia mendalam. Begitu juga dengan teman-temanku.
Mereka bahagia namun juga sedikit agak waswas. Terlebih Kak Rubi yang masih selalu belum yakin bahwa aku memang benar-benar sembuh. Dia takut, sesuatu buruk kembali terjadi padaku sama halnya seperti kesembuhan dulu.
“Beneran, kan? Aku takut cuma prank kayak dulu,” kata Kak Rubi.
“Beneran, Kak. Lihat aja sekarang hitamnya udah hilang terus lukanya udah ke tutup,” kataku.
Begitu juga dengan Anisa yang tidak hentinya mengucap syukur dan tersenyum sumringah. “Lin ... alhamdulillah. Aku bener-bener salut sama kamu.”
Aku tersenyum. “Kenapa?”
“Aku salut karena kamu ikhlas terima cobaan ini dan kamu rela—kalau kamu yang menderita dan menanggung ini semua—daripada harus keluarga kamu. Aku bener-bener salut. Kamu bisa berjuang sampai sejauh ini. Sampai bener-bener Allah kasih keajaiban buat kamu.”
“Biar aku yang ngerasain sakitnya. Nggak rela aku kalau sampai Bapak atau yang lain ngerasain sakitnya, na’uzubillahiminzalik. Karena sakitnya ... aduh ... nggak bisa dijelasin.”
“Sakit banget, ya?” tanyanya.
Aku mengangguk, tersenyum getir.