Waktu bergulir begitu lama bagi mereka yang kehilangan arah hidup. Tiga bulan terasa sendu bagi gadis yang seringnya luntang-lantung di jalanan ibu kota.
Dan gadis itu bernama Renata Kusuma.
Tiga bulan sejak pulang dari Kalimantan, dirinya sempat pindah tempat kost dekat kantornya di Jakarta. Sayangnya, hanya satu bulan ia masuk. Dua bulan kemudian, ia kembali jadi pengangguran tanpa penghasilan.
Mengurusi kolom artikel gaya hidup di majalah wanita, seharusnya menjadi hal sepele baginya. Pengalaman asam garam saat banyak menerima pekerjaan freelance bisa dengan mudah diselesaikannya. Namun kali ini, ia benar-benar sulit untuk maju.
Bukannya tidak kerasan, tapi Renata sering gagal fokus. Alam pikirannya selalu bermain sendiri, seakan membentuk imaji-imaji gila dan kelam dalam benaknya.
Entah setan apa yang sering kali menyambar dirinya. Tapi satu hal yang ia yakini; makhluk itu benar-benar ada dan mengikutinya setiap waktu.
Makhluk hitam. Sosok yang nyata dan mengerikan.
Renata tengah duduk termenung dipojokkan kamar kostnya. Ia melamun suntuk. Sampai tiba-tiba, ia memberantakkan rambut kepalanya sendiri dan menjerit, “Ah, gila!”
Saat menengok, makhluk bermata merah itu masih menunggu dipojokkan pintu.
“Anak Irang,” gumam Renata.
Tak lama, ia menghardiknya, “PERGI! TINGGALIN AKU SENDIRI!”
Makhluk itu tetap saja membungkuk terdiam dipojokkan kamar sambil memperhatikannya. Terkadang ia berloncat-loncat gila. Siluet tubuh kerempengnya menyerupai anak monyet yang biasa hidup di hutan liar.
Dan terkadang, makhluk itu suka meracau samar di kegelapan ruangan, “Datuk… Datuk… Datuk… maha mulia…”
Renata tak pernah mengerti apa yang diucapkan makhluk berbulu itu. Ia tak pernah memusingkannya juga. Ia hanya ingin makhluk itu segera meninggalkannya.
Namun apa daya, segala hal telah diupayakan. Dari mulai memperdengarkan lantunan ayat suci sampai berdiri di keramaian. Tetap saja Anak Irang itu sigap mengikutinya ke mana pun. Ia tak pernah tampak lelah dan juga tak pernah bosan.
Bagaimana mungkin penglihatannya akan makhluk itu terasa nyata? Apakah dirinya sekedar berdelusi? Apakah ia sudah gila dan kehilangan akal sehat?
Pertanyaan demi pertanyaan terus bergulir tanpa jawaban pasti. Alhasil, Renata hanya memendam sendiri rasa berkecamuk dalam batinnya.
Ketika pikiran logisnya kembali memusingkan nasib luntang-lantungnya di Jakarta, Renata mendesah pasrah. Mau sampai kapan jadi pengangguran?
Uang tabungannya juga semakin menipis. Tidak mungkin ia bisa membayar uang kost sampai akhir tahun nanti jika tak punya penghasilan. Bahkan percuma saja jika ia mencari pekerjaan sampingan di internet, dirinya tak akan bisa berpikir jernih untuk menyelesaikannya.
Ketenangan batinnya hilang direnggut sosok setan yang mengikutinya itu. Kini ia dilema; ke mana arah hidup akan membawanya?
Semenjak Anita, Bayu, dan Roy meninggal dunia, tidak ada lagi teman dekat yang dikenalnya di Jakarta. Sedangkan Nathan pindah ke Australia untuk sekolah diploma sejarah. Dan Doni menetap di Solo bersama kakek dan neneknya meneruskan bisnis tanaman hias.
Sedangkan dirinya tak punya kegiatan khusus untuk dikerjakan. Segalanya benar-benar hampa tanpa tujuan. Lantas Renata bergerutu, “Duh, duit makin menipis. Apa aku balik saja ya ke kampung halaman?”
Sesekali ia membenturkan kepalanya ke pinggiran dinding jendela. Lalu bergumam, “Cuma Bude Tresno yang aku punya.”
Samar-samar, makhluk dibelakangnya mendesis bak kera kelaparan. Sesekali makhluk itu berusaha menarik perhatiannya. Seakan mengirim sinyal pertanda agar Renata tak melupakan kehadirannya. Namun Renata berusaha mengabaikannya. Ia berusaha keras membayangkan seakan makhluk itu tak pernah ada bersamanya.
Ketika sekelebat ide menghampirinya, ia termenung. Matanya menatap langit-langit mendung sore kala itu.