Belum usai Renata bercerita, si Bude lagi-lagi memotong pembicaraan, “Bude dengar-dengar—di berita juga banyak yang meninggal saat mendaki gunung. Malah katanya banyak orang hilang di hutan.”
“Tapi teman-teman Renata itu enggak meninggal di Kalimantan,” bantahnya. “Setelah pulang ke Jakarta, mereka baru mulai mengalami hal-hal aneh. Sebenarnya, aku dan Doni juga sempat mengalami hal serupa,” ia merasa ngeri menceritakannya lagi. “Intinya kami diganggu makhluk halus, Bude.”
Renata bingung bagaimana ia bisa memberitahu budenya mengenai pencurian patung-patung keramat di sana. Jika budenya tahu, sudah pasti akan marah padanya.
Renata tidak berniat jadi pencuri sama sekali. Mau tidak mau, ia terlibat dengan teman-temannya. Ini semua ide Bayu dan Roy. Kalau saja mereka tidak main-main dengan hal keramat, sudah pasti tidak akan terseret ke lingkaran setan.
Di sisi lain, Bude Tresno belum paham kejadian janggal yang mereka alami. Ia terus mempertanyakannya, “Pripun, toh? Setan ngoyak-ngoyak kalian dari Kalimantan? Ora mudeng, Bude.”[1]
Renata begitu gelisah. “I… itu… karena.”
Rasanya tak siap mengutarakan hal yang sebenarnya. Namun apa gunanya menutupi hal seperti itu dari budenya. Apalagi ia sudah tidak punya keluarga selain Bude Tresno. Jika ada apa-apa dengan dirinya, hanya budenya yang dapat menolong.
Segera ia memantapkan hati dan berkata, “Teman-teman Renata nyuri patung keramat di sana, Bude.”
Sepasang mata Bude Tresno membelalak. Ia tak percaya apa yang dikatakan keponakan satu-satunya itu.
“Katanya, patung-patung itu ada isian makhluknya. Makanya pas dibawa Bayu dan Roy ke Jakarta untuk dijual, mereka dihantui sampai mati. Anita juga kena sialnya,” Renata merasa ketar-ketir membicarakan hal ini. “Sebelum hal serupa menimpa aku dan Doni, makanya aku balik ke Kalimantan buat balikin patung-patung Pantak Padagi itu.”
“Pripun niki, cah cilik-cilik kok nekat men,” si Bude menggerutu kesal. “Kok kamu bisa terlibat sih, Nduk? Macem-macem wae, toh.”[2]
“Sebenarnya ada satu lagi kenalan baru Renata. Namanya Nathan. Dia yang bantu Renata bicara ke juru kunci di Desa Mantikei,” ucapnya.
Ketika teringat kenangan pertemuannya dengan keluarga Mantikei, rasa marah terlintas. Renata sadar betul tindakan mencuri yang dilakukan teman-temannya itu tidaklah benar. Namun bukan berarti apa yang dilakukan keluarga keturunan orang sakti itu lantas lebih benar. Mereka melakukan pesugihan tumbal darah. Dan mereka hampir menjadikan Nathan dan Doni sebagai tumbal mereka juga.
“Ya, intinya sih, semua sudah beres sekarang, Bude. Kecuali—” sejenak ia menengok ke arah makhluk kerempeng hitam dipojokkan dapur.
“Kecuali menopo?”[3] Budenya penasaran.
“Aku masih diikutin makhluk halusnya, Bude,” gumamnya lirih. “Aku bisa lihat dia.”
Mendadak si Bude beranjak dari kursi dan memukul sebelah bahunya. Lalu menyahut, “Wes, halu-halumu itu dihilangkan. Sudah sampai ke rumah, Bude, ojo macem-macem pikiranmu itu.”
“Ma… maaf, Bude. Tapi aku benar-benar lihat,” ucap Renata. “Ngapain sih aku harus ngarang cerita ke Bude. Aku balik ke sini juga gara-gara—”
Renata menundukkan pandangannya dan menutup erat bibirnya. Sedangkan budenya duduk kembali.
“Wes, jujuro kalih, Bude. Kadosmenopo kamu ini?”[4] Bude Tresno berusaha memahaminya. “Kamu mau sambat, kamu mau nangis, di sini masih ada Bude.”
“Aku takut, Bude,” gumam Renata, terdengar lemah.
Dalam keheningan, Bude Tresno mencoba membaca apa yang tak diucapkannya. Renata pun tak kuat beradu pandang terus menerus dengan budenya. Ia memalingkan wajah sambil memainkan jari-jemari lentiknya.
“Yo, wes, kalau kamu memang butuh waktu untuk bisa ngobrolin hal itu sama Bude—lebih baik kamu istirahat dulu,” ujar budenya, penuh perhatian. “Bude antar ke kamarmu sekarang.”
Saat beranjak dari kursi, ia mendapati si Bude menarik koper hitamnya. Lantas ia bergerak cepat seraya menyahut, “Biar aku saja, Bude!”
Budenya dengan cekatan menangkis tangan Renata yang hendak mengambil alih kopernya. Si Bude lalu bergumam, “Kamu ikuti aku saja. Ojo mbantah.”[5]
Renata terlalu lelah untuk berdebat. Akhirnya ia mengangguk patuh saja sambil mengikuti langkahnya dari belakang.
“Kamarmu ada di lantai dua, ya, Nduk,” ucap si Bude sambil mengantarnya berjalan ke tangga dekat dapur.
Sesampainya di kamar tersebut, Renata terpaku di ambang pintu. Sepasang matanya mengamati seisi ruangan. “Ini kamarku waktu kecil. Enggak pernah berubah isinya.”
“Cuma sering Bude sapu sama pel. Enggak pernah Bude utik-utik barangmu, Nduk,” ucapnya sambil meletakkan koper di sebelah kasur.
Renata maju berlahan mendekati satu-satunya jendela di kamar. Ia menengok ke bawah untuk melihat pemandangan asri di luar sana.
Di belakangnya, Bude Tresno berbicara, “Ya, Bude percaya, suatu saat kamu pasti kembali ke rumah ini. Kamu bisa bernostalgia lagi sama masa kecilmu di sini.”
Renata tersenyum penuh kerinduan pada budenya. “Terima kasih, ya, Bude sudah jagain barang-barang Renata di sini.”
Bude Tresno mendekatinya, mengusap sebelah bahunya, balas tersenyum.
“Yang penting, sekarang kamu segar waras. Yang sudah-sudah, biarkan berlalu. Teman-temanmu itu sudah menemui ajal takdirnya. Jangan disangkut pautkan sama setan,” ujar Bude Tresno, menasehatinya. “Urip mati kersane Gusti Allah. Ingatlah, Nduk.”[6]
Kali ini, Renata tak bisa mendebatnya. Apa yang dikatakan Bude Tresno ada benarnya. Hidup dan mati sudah menjadi kehendak yang Maha Kuasa. Manusia hanya bisa menjalani takdirnya di dunia ini.
Seraya melangkah keluar kamar, Bude Tresno berucap, “Habis beres-beres, turun ke bawah ya, Nduk. Bude masakin kamu semur ayam hari ini.”