Keesokannya, hari senin—memasuki minggu kedua awal tahun 2017, di Kota Surakarta.
Renata termenung setelah membuka lemari. Ia berpikir—jika mendatangi tempat istimewa, seharusnya berpakaian indah. Namun semua bajunya serba biasa. Kebanyakan hanya blouse polos. Sebelah kakinya menghentak-hentak sambil ia terus mengamati seisi lemarinya. Rasa dilema menghantuinya.
Semua baju miliknya di Jakarta sudah di pindahkan ke sini. Tak banyak koleksi busananya. Ia sendiri bukan gadis modis. Seperti yang diajarkan Bude Tresno; yang penting hidup sederhana dan serba berkecukupan.
“Duh, aku enggak punya satu pun yang bagus. Kalau baju pesta ini terlalu lebay—” ucapnya sambil melihat satu gaun hitam tak berlengan yang dulu pernah dibelikan Doni.
Dari lantai satu, terdengar budenya berteriak, “NDUK, MAU JAM BERAPA BERANGKAT KE KERATON?”
Tanpa berpikir panjang lagi, apa saja yang bisa diambilnya dari lemari langsung dipakainya. Pagi itu ia tampil dengan atasan blouse abu-abu dan celana jeans.
Usai menggenakan tas selempangnya, ia berjalan turun ke lantai bawah.
“Ayo, Bude, kita berangkat sekarang,” ajak Renata, menyambanginya di dapur.
“Aduh, Nduk, hari ini Bude enggak bisa nganterin kamu dulu yo. Bude lupa—ada acara masak tumpeng di rumah tetangga. Ada yang habis lahiran anak pertama,” si Bude nampak terburu-buru, sibuk menyiapkan bumbu masakan dan rantang nasi.
Renata mendesah pasrah seraya menyahut, “Oh, ya sudah. Kalau begitu… Renata sendirian saja.”
Sambil masih menata tempat bumbu di meja dapur, budenya berkata, “Eh, kamu jadi ziarah ke makam orang tuamu, tah?”
“Uh…” dalam batin, sebenarnya Renata merasa takut jalan-jalan sendirian. Ia belum merasa familier dengan arah jalanan di Solo. “Ya, mungkin besok pas Bude bisa nganterin aku saja deh. Hari ini mau sowan ke Pak Mangun Tjokro dulu—”
“Pokoknya kamu bilang saja nanti, kamu anaknya keluarga Kusuma Wijaya. Biar ndak dikira orang asing,” budenya mengingatkan lagi.
“Nggih, Bude—” ucapnya seraya menjabat tangan budenya, “Aku pergi dulu ya.”
“Hati-hati ya, Nduk. Jangan ngelamun. Lihat sekelilingmu,” si Bude menasehati.
Renata mengangguk patuh dan tersenyum. Secepatnya ia memakai sepatu di teras dan pergi mencari kendaraan umum yang lewat di gerbang desa.
***
Perjalanan dari Desa Kemuning menuju daerah keraton di kota memakan waktu sekitar sejam dengan mobil taksi. Pagi itu, Renata dapat kembali melihat alun-alun kota yang menyejukkan hati.
Sekitar jam sembilan lebih, akhirnya ia tiba di komplek keraton. Ia turun dan segera membayar biaya perjalanan taksi.
Sempat ia melotot melihat isi dompetnya yang kian hari kian menipis. Ia belum berani memberitahu budenya mengenai kondisi keuangannnya saat itu. Ia tak ingin sampai membuat Bude Tresno semakin cemas. Apalagi ia sudah cerita mengenai kisah tragis pendakian bersama teman-temannya di Kalimantan. Ditambah kisah makhluk halus yang mengikuti dirinya itu.
Sejenak ia menengok ke sekelilingnya. Lapangan luas depan pintu keraton sudah ramai diisi mobil-mobil pengunjung. Bahkan antrian sudah memadati area loket. Banyak juga anak kecil yang berteriak dan berlari-lari di sana.
Sambil berjalan menuju loket, Renata bergumam sendiri, “Duh, ramai banget, ya.”
Para abdi dalem tengah sibuk melayani para pengunjung. Banyak yang sudah tak sabar ingin memasuki museum keraton.
Hari itu adalah pertama kalinya Renata datang ke keraton. Tidak pernah seumur hidupnya ia menginjakkan kaki di tempat yang penuh akar sejarah kebudayaan Jawa ini.
Matanya kerap celingak-celinguk ke arah teras pintu masuk yang dijaga para abdi dalem. Ia sempat merasa gugup karena bingung siapa yang harus ditanyainya.
Di saat yang bersamaan, rasanya sesak jika harus berdiri berdesak-desakkan di antara keramaian. Akhirnya ia mundur dari antrian.
Sambil mengambil nafas lega, Renata menyendiri di tengah lapangan parkir. Ia menengadahkan pandangannya ke atap bangunan megah di hadapannya. Saat itu ia penasaran; apakah ada pintu masuk lain yang tidak terlalu ramai pengunjung?
Jika yang dikatakan Bude Tresno benar bahwa mereka punya saudara di sini, Renata merasa seharusnya ada pintu masuk khusus untuk keluarga.
Ia berjalan sambil mengamati area sekitarnya. Sampai matanya menemukan area pintu masuk lainnya. Hanya ada beberapa orang yang berdiri di pinggiran teras. Nampaknya mereka pengunjung biasa, sama seperti orang-orang di loket tadi. Mereka sedang mengobrol ramah bersama beberapa abdi dalem.
Renata segan ingin menyapa salah satu abdi dalem di situ. Ia malah melewati mereka dan berjalan sendirian di area pinggiran. Lama-lama ia merasa seperti orang bodoh yang kehilangan arah jalan. Frase kuno itu memang benar; malu bertanya, sesat di jalan.
Jika saja Bude Tresno tidak bertingkah seperti orang terburu-buru tadi pagi, Renata bisa bertanya-tanya sedikit mengenai sosok saudaranya di keraton ini.
Renata berusaha menanyakan nomer telpon saudaranya itu, namun pesannya belum dibalas budenya sedari tadi. Ia mencoba menelponnya, namun tak diangkat juga.
Ia mondar-mandir bagai orang asing yang tersesat sendirian. Bingung mau melangkah ke mana. Sesekali ia memperhatikan orang-orang dari kejauhan.
Cuek saja ia menelusuri jalanan koridor sepi di situ. Ada beberapa pintu besar yang digembok rantai. Ketika Renata mendekati salah satunya, ia bisa mengintip pemandangan dari celah kecil pintu. Terlihat kebun luas dan pot-pot tanaman di dalam sana.