Renata tiba di rumah Bude Tresno sebelum jam makan siang. Ketika melihat sepatu budenya ada di teras, ia cepat-cepat melempar sepatu sendalnya dan masuk ke rumah.
“BUDE TRESNO!” Renata memanggil-manggilnya di ruang tamu, tak sabar ingin mengeluarkan semua keluh kesahnya.
Budenya berlari dari arah dapur, menyahut kesal, “Menopo toh kamu teriak-teriak?”
Renata menghembuskan nafas panjang seraya duduk di sofa empuk ruang tamu.
Budenya pun menanyakan, “Sudah ketemu Pak Mangun Tjokro di keraton?”
Renata meliriknya kesal. “Iya, gitu deh.”
Bude Tresno balas menatapnya heran sambil bergumam, “Kok gitu deh jawabanmu. Pripun toh, kamu ini?”
“Bude yakin beliau saudara kita? Dan apa Bude yakin kalau Pak Tjokro ini punya kemampuan untuk ngusir makhluk yang ngikutin aku?” tanya Renata, nadanya menyepelekan.
Budenya mengernyit semakin keheranan. “Loh, memangnya Pak Tjokro ngomong opo toh ke kamu? Menopo nesu begitu tampangmu?”
Renata mendesah, mencoba menahan sesak di dadanya. Lalu ia berkata, “Aku tadi keburu emosi. Jadi aku enggak lanjutin percakapan buat tanya-tanya banyak sama beliau.”
Budenya ikut duduk bersamanya dan kembali menanyakan, “Wonten menopo, toh?”[1]
“Aku sudah ceritaiin permasalahanku. Lalu aku tanya beliau; apa Bapak bisa melepaskan ilmu apapun itu yang tertanam ditubuhku? Tapi jawabannya malah—” sejenak ia menggigit bibir bawahnya. “Dia malah ngasih pertanyaan sih.”
“Pertanyaan apa?” Budenya penasaran.
Sejenak ia bertukar pandang dengan si Bude. Detik selanjutnya, ia menirukan ucapan Pak Tjokro, “Apa Ndoro siap untuk mati? Begitu katanya—”
Budenya sontak tercengang. “Loh, pripun, toh?”
Renata mengangkat kedua bahunya dengan acuh sambil menggelengkan kepala. Mereka saling terdiam memikirkan ucapan Pak Tjokro tersebut.
“Aku juga bingung—kenapa Pak Tjokro manggil aku Ndoro, ya?” gumam Renata.
Budenya malah tertegun ketika ditanyai.
“Pak Tjokro juga manggil bude; Ndoro Kusuma,” ujar Renata. “Memangnya siapa yang ningrat di keluarga kita, Bude? Kok aku enggak pernah tau sih.”
Bude Tresno menggaruk-garuk rambut cepol berubannya sambil merenung.
Renata lantas menggerutu kesal, “Tahu begitu, aku harusnya datang sama Bude ya. Tadi rasanya canggung banget sih ketemu beliau sendirian.”
“Tapi Pak Tjokro mengenali kamu, kan?” tanya budenya.
Renata mengangguk. “Iya, kan Bude yang nyuruh aku memperkenalkan diri sebagai saudaranya Bude.”
“Maafin Bude ya, Nduk. Tadi Bude enggak bisa konsentrasi ke kamu. Bude buru-buru harus nyiapin perlengkapan masak buat di rumah tetangga,” celotehnya. “Nanti kapan-kapan kita sowan lagi ke sana, Bude temenin kamu.”
“Tapi—” Renata menunduk sambil memainkan jari jemari panjangnya. “Aku ngerasa sia-sia saja datang ke sana.”
Bude Tresno menatapnya heran. “Kenapa kamu kok ngomong begitu? Jangan cepat-cepat menyerah—”
Renata menyela ucapannya, “Memangnya beliau kuncen apa sih, Bude?”
Budenya mendadak gelagapan, “Uh… Bude dengar-dengar sih semacam kuncen yang menjaga pusaka-pusaka keramat di keraton.”
Renata mengangguk paham. “Pantesan. Dari perawakannya, beliau seperti orang penting ya di sana. Orangnya berwibawa. Cuma ya gitu, beliau enggak banyak bicara…”
Bude Tresno hanya tersenyum canggung mendengarnya.