Esok harinya, Renata ditemani Bude Tresno berkunjung ke keraton. Mereka turun dari taksi di pinggiran gerbang masuk. Renata lega budenya membayarkan ongkos perjalanan, mengingat uangnya menipis.
Mereka lanjut memasuki lapangan parkir. Pengunjung semakin banyak yang berdatangan di hari Selasa.
Renata bertanya penasaran, “Memangnya selalu seramai ini ya di keraton?”
Budenya menggeleng. “Yo enggak mesti. Biasanya pas sabtu minggu saja ramainya.”
“Lagi ada acara apa sih, Bude?” tanya Renata sambil memandangi keramaian pengunjung. “Banyak banget yang ngantri di loket masuk.”
Bude Tresno masih celingak-celinguk melihat antrian yang sudah memenuhi halaman depan. Lalu ia menimpali, “Mungkin ada acara khusus di dalam.”
“Aku kemarin enggak masuk lewat jalur loket, Bude,” ujar Renata, memberitahu. “Aku lewat pintu masuk yang satunya lagi. Ada di depan sana sih—”
“Kamu duluan sana. Bude mau ke kamar mandi dulu, tiba-tiba sakit perut,” ujarnya.
Renata mengernyit, tak setuju. “Mendingan bareng saja, Bude. Aku ikut—”
“Ora usah, kamu masuk duluan saja. Bude nanti samperin. Temui Pak Tjokro dulu supaya enggak ngenteni kamu kelamaan pagi ini,” gerutu budenya seraya mendorongnya.
Renata memperhatikan antrian orang-orang yang saling berdesakan di sana. Sekilas ia melihat kamar mandi umum yang berada di sebelah loket.
Ia mendesah pasrah dan berkata, “Ya sudah, aku tunggu di koridor pintunya deh. Pokoknya kita ketemuan bareng saja.”
Budenya menggerutu memarahinya. Namun suaranya tak terdengar jelas ketika kerumunan orang-orang semakin gaduh.
Bude Tresno cepat-cepat berlari menuju kamar mandi umum. Sedangkan Renata masih keras kepala menunggunya di bawah pohon besar.
Renata terus menghentak-hentakkan kaki tak sabaran. Kedua tangannya saling mengapit erat didada. Sudah lebih dari sepuluh menit, budenya belum juga kembali. Ia mencoba beberapa kali menelponnya, namun tak diangkat. Karena budenya tak kunjung kembali, Renata memutuskan pergi ke pintu masuk yang lain.
Renata segera mencari pintu yang kemarin dimasukinya. Ternyata pintu itu sudah di kunci erat dengan rantai besi. Ia tak dapat membukanya. Pintu-pintu yang lain juga dikunci. Ia bingung mau masuk lewat mana.
Ketika berjalan mondar-mandir di koridor teras, seseorang mencegatnya.
“Mbak, mau ke mana? Pintu loket ada di depan ya,” ucap laki-laki muda berbelangkon dan berpakaian batik rapi.
“Saya mau menemui saudara di sini, Pak. Namanya Pak Mangun Tjokro,” ucapnya.
“Pak… Mangun…” laki-laki itu mengerjap, mencoba mengingat nama tersebut.
Sebelum laki-laki itu hendak berbicara, seorang abdi dalem lainnya memanggil dari ujung gerbang. Laki-laki itu mengangguk dan tersenyum padanya, “Nggih, monggo, Mbak.”
Renata segera mencegatnya sebelum pergi, “Pak, maaf, tapi pintu di sini dikunci semua. Saya bisa masuk lewat mana ya?”
Laki-laki tersebut nampak terburu-buru saat abdi dalem paruh baya di gerbang terus memanggilnya.
“Mari, lewat sini, Mbak,” ucapnya sambil cepat-cepat membukakan pintu paling ujung di koridor.
Renata bergumam, “Terima kasih ya, Mas.”
Segera ia melangkah masuk ke dalam tembok keraton. Ketika mendapati laki-laki itu mengunci pintunya kembali, ia panik. Bagaimana budenya bisa masuk ke sini nanti?
Karena laki-laki itu sudah duluan pergi, Renata pasrah saja. Akhirnya ia harus menemui Pak Tjokro sendirian lagi.
Ia terus melangkah di sepanjang taman bunga. Sampai akhirnya ia menemukan pendopo besar di depan jalan setapak.
Langkahnya mulai pelan ketika ia mendapati sosok Pak Mangun Tjokro sudah menyambutnya di ujung pendopo. Beliau tersenyum seketika mereka beradu pandang.
Renata dapat merasakan aura mistis dan kewibawaan yang dipancarkan beliau dari kejauhan. Ia memberanikan diri menghampirinya. Ia berusaha terlihat percaya diri walau dalam hati gentar.
Ketika sudah berdiri berhadap-hadapan, beliau sedikit menunduk sambil menyapanya, “Sugeng Enjing, Ndoro. Selamat datang kembali—”
“Pak Tjokro… sa… saya datang lagi… karena,” suaranya terbata-bata. Renata begitu gugup untuk menjelaskan maksud kedatanganya kembali.
“Monggo, Ndoro… kita bisa berbincang sambil duduk dulu,” ajak Pak Tjokro seraya mengantarkannya ke gazebo kecil.
Jantungnya berpacu kencang mengikuti beliau dari belakang. Terakhir kali bertemu, Renata tak memberi kesan cukup baik padanya. Ia jadi sungkan saat kembali bertemu beliau.