Pria berbadan atletis, memasuki rumah berlantai dua dengan panorama asri menghiasi halaman rumah itu. Ia berjalan sambil memegangi pipinya, kemudian berlari menapaki anak tangga, sebelum akhirnya terhenti, saat suara berat menahan langkahnya.
“Berhenti!”
Atlas kembali menuruni anak tangga, kemudian berjalan ke arah Papanya yang berada di ruang tengah. Ardi melipat korannya dan membuka kaca matanya. Ia berdiri menatap tajam mata putra bungsunya, sebelum akhirnya melampiaskan kemarahannya kepada putranya itu.
"Papa didik kamu sama Kak Lita agar anak-anak Papa bisa bertanggung jawab saat ia tumbuh dewasa, ia bisa mandiri dan menjadi anak yang membanggakan. Bukannya membuat malu keluarga kita. Lihat Kakak mu diumurnya yang masih dua puluh dua tahun ia menjadi wanita hebat, mandiri dan bisa membanggakan keluarga. Kamu, bisanya Cuma membuat masalah saja.”
Atlas tetap diam.
“Papa nggak pernah ngajarin kamu untuk berkelahi. Seharusnya kamu belajar ngikutin kakak kamu! Mau ditaro di mana wajah papah kalau sampai rekan-rekan papah tau kelakuan kamu.”
Atlas mengangkat wajahnya. Matanya sudah memerah menahan kecewa, kemudian menatap mata papanya dengan ragu-ragu.
“Papa berhenti bandingin aku dengan Kak Lita. Selama ini aku selalu diam, setiap kali papa ngebandingin aku dengan Kak Lita. Aku ini siapa di mata papa, seharusnya papa juga kasih aku kebebasan untuk bisa bermain bola. Agar papa liat kalau anak papa ini bisa dibanggakan menjadi atlet.”
“Seharusnya kamu sekolah yang benar, biar bisa kerja di perusahaan besar dan menjalankan Bisnis kita. Bukannya jadi atlet nggak jelas itu, nanti kalau kamu sudah tua nggak akan dipakai lagi.”
“Bagaimana bisa papa ngehancurin mimpi aku dan tidak memberikan aku kesempatan, sementara Kak Lita diberi kebebasan untuk bisa mengejar mimpinya. Aku ini anak papa, seharusnya papa memperlakukan aku sama dengan Kak Lita.” Amarah Atlas meledak.
“Ya papa ngehancurin mimpi kamu, mimpi yang nggak guna itu.” Suara dingin Ardi berhasil mematik amarah Atlas yang sudah diambang batas kesabaran.
“Papa hanya malu sama diri papa sendiri, karena papa nggak pernah bisa jadi atlet sepak bola, karena papa punya masalah dalam diri papa, yang akhirnya menguburkan mimpi papa sendiri untuk bisa menjadi seorang pesepak bola. Papa sama aja dengan pecundang, malu mengakui bahwa anaknya jauh lebih hebat dari papanya.” Kali ini kalimat Atlas yang menohok bersamaan dengan tamparan Ardi yang melayang di wajah Atlas. Sehingga aliran panas menjalar di pipinya.
“Tampar Pah, tampar aja lagi. Biar papa puas!” Emosi Atlas meninggi.
“Papa akan menikahkan kamu dengan cucu teman Oma, mau tidak mau kamu harus mau. Dan mulai saat ini kamu harus belajar untuk tanggung jawab!” Kalimat Ardi meluncur keluar begitu saja, sontak membuat Atlas tak habis pikir dengan jalan pikiran papanya. Bagaimana bisa seorang anak yang baru saja menginjak umur delapan belas tahun dan masih mengenakan seragam abu-abu dipaksa menikah?
“Setelah menghancurkan mimpiku, kini papa berusaha untuk menghancurkan masa depanku. Pah, aku masih sekolah. Sementara Kak Lita sudah berumur dua puluh dua tahun. Seharusnya yang papa nikahkan itu Kak Lita, bukan aku! Jelas papa memang dari dulu lebih condong ke Kak Lita dari pada aku. Apa aku bukan anak kalian?” Tanyanya dengan emosi menggebu-gebu.
“Atlas, maksud papa bukan begitu Nak. Kamu salah paham, kamu istirahatlah dulu ya?” Rika menenangkan putranya, namun Atlas memberontak.
“Bagaimana bisa papa punya pikiran jahat seperti itu Pah! Kalau aku bikin salah dan udah buat papa kecewa aku minta maaf, tapi please jangan paksa aku untuk menikah. Dan Mama selama ini selalu diam setiap kali aku perang dingin sama papa. Aku semakin yakin kalian memang bukan orang tua kandungku.” Suara Atlas terlihat melemah, ia terdiam sejenak dan kemudian menarik napas.
“Aku capek. Aku mau istirahat,” Tukasnya berjalan lemas menaiki anak tangga dan masuk ke dalam kamarnya. Ia menghempaskan tas ranselnya kemudian membaringkan tubuhnya di atas kasur, dan membiarkan ruangan gelap menemani hatinya yang hancur.
Tangis pria itu pecah, ia mencengkram kepalanya kemudian mengacak-acak rambutnya. “Ini benar-benar nggak adil buat gue, Aghhhhh…”
Selang dua jam, kamarnya masih gelap. Waktu sudah bergerak pukul delapan malam. Pria itu masih betah di dalam kamarnya tanpa cahaya, di sudut kamar ia hanya memeluk gitarnya sambil bersandar pada tembok dengan ekspresi memilukan. “Menikah!” Tukasnya tertawa sambil memetik gitarnya asal-asalan hingga mengeluarkan suara berantakan.
“Oke kalau itu maunya papa, gue akan tunjukin kedia gimana caranya dewasa dan memperlakukan orang dengan cara gue, setelah itu dia bakalan menyesal karena sudah mengambil langkah yang salah,” Tukasnya tertawa seperti merencanakan sesuatu yang buruk, untuk menghancurkan nama baik keluarganya.
***
Seorang gadis berhijab dengan tubuh mungil berjalan menunduk dengan mata yang sembab. Sebenarnya ia malas untuk pergi ke sekolah, namun karena hari ini ada ulangan dan persiapan untuk Ujian Nasional Keyra terpaksa harus sekolah dan berangkat lebih pagi.
"Key, Mata lo sembab. Lo nggak bisa tidur lagi?” Tanya Mita saat baru tiba dan memiringkan kepalanya menatap Keyra yang sedang tertunduk membaca buku.
Keyra menghela napas panjang, untung saja Mita tak menyadari bahwa matanya sembab akibat menangis seharian kemarin. Mungkin karena keseringan datang ke sekolah dengan bentuk mata yang berubah-ubah, seperti merah, sembab, dan kadang lingkaran hitam di matanya, membuat Mita tak menyadari apa yang terjadi dengan Keyra sebenarnya.
“Key lo mending ke dokter deh, kasihan sama mata lo kalau kayak gitu terus. Gue yakin Insomnia bisa juga kok diobatin?”
Keyra mengangguk kemudian menatap Mita. “Ini bukan masalah Insomnia gue Mit, ini masalah gue yang bakalan nikah dan sebentar lagi akan berstatus sebagai seorang istri. Anak SMA kayak gue bakalan jadi istri, lo nggak akan tau gimana rasanya.” Batinnya menatap mata Mita, dengan hati teriris yang dipaksakannya tersenyum.