Sayang sekali sinar matahari di paksa berhenti oleh jejak jejak homeva.Langkah gadis pembawa suling itu pun diselimuti kedinginan.Padahal ini bukan musim salju.Membawa diri ke pucak serasa benar benar mendaki.Tingginya segitiga khayalan itu.
Tidak perlu teman, daun daun kering yang gugur sudah menjadi sapaan hangat saat memasuki istanakava.Lantai kaca terbentang mengarahkan pada pintu utama.Di bawahnya ada ikan ikan emas yang asalnya dari gua goldeva.
Tidak ada retakan maupun goresan barang sedikit.Ketahuilah, semuanya harus menjadi verena dan vereno sejati bila masuk istanakava.
Mungkin, gadis tamu ini adalah yang pertama kali akan menginjak kaca sacral. Sebelum para taraka di barisan gerbang utama menyorakinya.
“Terbanglah jika kau bisa terbang!Pergilah jika kau bisa pergi!” dengan bersama mengangkat tongkat merah menyala bersama, hanya salah sati taraka gagah berbicara.
Layaknya tembok di tepi sungai, hadapan gadis itu benar benar tertahan.Tak ada yang berbicara setelahnya.Bagi taraka, himbauan tadi dirasa cukup dan tamu tak diundang itu pun tak ada niatan memohon.
Pandangan mata tertukar bersamaan dengan sinar yang semakin redup tertutup awan.Sepertinya alam pun menurut pada langkah agung Queena Miverena.
Syna Queena, mava dari Dyana Princessa. Pemimpin berdarah biru murni tahta daerah ajaib segitiga Miverena, tanah yang terbang.
Hari pertama musim gugur, sudah menjadi kebiasaan jalan kaki petinggi istanakava.Berkeliling serasa menghitung berapa daun pohon stirva yang jatuh.Kembali kesana kemari lagi tanpa melewati jalan kaca sacral.
Para taraka yang berjejer seperti kayu lidi yang menghalau tikus masuk rumah itu tentu mengundang perhatian mereka bukan?
“Ada apa?Di pagi hari menghalau awan Queena,” sebuah kiasan dilontarkan hakim Jehunbak sebagai ejekan telah mengganggu pemandangan seorang Queena.
Masih tak ada yang memecah bola suara, taraka bubar barisan menampilkan gadis muda bergaun putih selutut yang sederhana.
Sedetik itu hakim Jehunbak terkaget.Siapa gerangan dengan kain putih di tubuhnya itu?Darah birukah?
“Izinkan aku bertemu Syna Queena,” sadar akan posisi tokoh di depannya lebih tinggi, gadis pembawa suling itu menari lidah.
Manis ucapannya tak menjadi angina untuk mengoyahkan si hakim, “Siapa? Dan ada urusan apa?!” nadanya sedikit meninggi tidak suka dengan tarikan bibir manis tamu. Dibenaknya, ada kesombongan tak terlihat.
“Biarkan kami bercakap cakap.”
Satu kalimat itu seketika membuat yang berada di halaman istanakava terdiam.Sempurnanya menurut.