“Mas, Bu Martini itu gak tau malu banget. Tadi ibu nawarin makan, malah minta dibungkusin. Dikasih hati malah merusak jantung, bikin tensi naik aja. Padahal kan basa-basi.” Kuceritakan pengalaman pulang kerja tadi siang sambil berjalan mengekor di belakangnya.
“Ibu mana pernah basa-basi, Dek. Lagian baru kerja udah mau cari musuh, mending musuhan sama Masmu ini. Kasian Azam gak punya temen main.” Suamiku menggoda. Haduh, dadaku berdegub seperti abg lagi kasmaran.
“Anak’e ndang (anaknya segera) dikasih makan. Udah mau magrib.” Ibu mertua iba-tiba muncul di belakang menyerahkan Azam. Suami tepok jidat meninggalkanku bengong sendiri.
“Ngopo kowe (Kamu kenapa)?” Ibu melototi Mas Arya. “Cepet, Mbak. Biar Azam gak rewel kalo ntar malem tidur,” lanjutnya.
Ku ambil nasi dalam mangkuk juga sayur menir dan telur dadar. Lauk sengaja kubuat khusus anakku tanpa micin. Ku dudukkan Azam di kursi lincak depan rumah, bawah pohon jambu air sambil menyuapi. Walau masih kecil harus dibiasakan makan dengan duduk. Sesekali Azam mau makan sendiri. Sebenarnya akan membutuhkan waktu lama apalagi masih berceceran makannya. Setidaknya mengajarkan adab makan dan mandiri harus sejak kecil pada anak. Sungguh menggemaskan sekali, sesekali Azam pura-pura menyuapi padahal dimakan sendiri.
***
Pagi ini aku sudah bersiap. Sengaja berangkat pagi sekali menghindari papasan kendaraan lain. Ini pertama memulai belajar menitih motor. Sebelumnya pernah waktu masih kuliah diajarin Pak Lik pake motornya. Berkali-kali jatuh tanpa kapok tapi tetep saja gak bisa. Hingga suatu hari jatuh dari motor sebab disuruh pulang Ayah untuk datang ke lamaran sepupu dijemput pacar yang sekarang jadi suami. Sejak hari itu aku takut latihan naik motor sendiri.
Hari ini aku latihan lagi dengan motor baru kubeli dengan kredit, mengangsur tiap bulannya. Dengan kecepatan 20 km/jam aku melaju. Suami membonceng kali ini tidak menggerutu. Dia tau masih ada trauma kualami. Sejam lebih lima menit sampai di puskesmas. Beruntung sekali jalanan masih sepi. Biasanya musim panen seperti ini truk pengangkut hasil panen berseliweran. Suami pulang. Nantinya menjemput dan melatih keberanianku kembali.
Jujur saja, kaki ini masih gemetar setelah turun dari motor. Aku duduk di kursi ruang tunggu sambil mengibaskan kaki. “Wes mangkat (sudah berangkat) tho. Pagi banget,” celetuk Bu Martini mengagetkanku.
“Ayo sarapan.” Tanganku ditarik kuat. Terpaksa mengikutinya. Sampai di kantin Bu Martini memesan nasi, sayur bayem dan lele goreng. Minumnya teh anget.
“Kamu pesen apa?” Kupikir dia coba menawari.
“Teh anget saja, Bu. Saya tadi udah sarapan,” tolakku halus. Ibu kantin kemudian berbalik meracik pesanan.
“Oh, wes matengan (sudah matang masakannya)? Sekali-kali bawa bekal biar bisa makan bareng-bareng.” Dia mencomot 2 gorengan.
“Lha ibu berangkat pagi apa gak sarapan dulu?”
“Gak sempet masak. Anakku yang kecil tak suruh sarapan di sekolah.”
Lah, berangkat pagi banget bisa, kenapa gak sempet masak sih. “Bungsu sekolah apa, Bu?” Penasaran juga.