ORANG-ORANG bilang, Yogyakarta terlihat paling indah waktu senja. Bahkan, senja di kota ini adalah senja terindah kedua di Indonesia. Saingannya hanya senja yang dipotong Sukab demi Alina. Begitu yang Rio dengar. Namun, Rio berpikiran lain. Adalah hujan yang membuat setiap tempat menjadi lebih berkesan. Hujan yang membungkus, meredam riuh terang kota, dan membuatnya terlihat lebih terluka. Lebih bersedih. Lebih jujur.
Itulah yang membuat Rio pergi makan siang sendirian di warteg yang tidak jauh dari kantornya hari ini. Karena sedang hujan. Biasanya, Rio akan menitip kepada office boy. Namun, hari ini ia berpayung, berjalan sekitar lima menit, dan tiba di warteg langganan orang-orang kantor. Ia duduk di bangku plastik berwarna biru yang agak goyah karena salah satu penyangga kakinya patah. Setelah meletakkan payung yang setengah tertutup di bawah meja, Rio berdiri lagi dan mengambil piring serta mencomot lauk-pauk dari rak prasmanan. Ia kembali ke bangku usai memesan segelas teh panas tawar. Ia menoleh sesaat ke luar tenda warteg, menyimak arus motor dan mobil yang didera hujan deras.
Warteg itu berdiri di trotoar jalan raya besar di pusat Kota Yogyakarta, mengisi satu titik pada pinggang Jalan Solo yang panjang dan tak pernah kosong. Ia tidak sendirian. Di kiri dan kanan warteg itu terdapat warung-warung semipermanen lain. Mereka paling ramai dikunjungi pada malam hari, sekitar bakda isya hingga nyaris tengah dini hari. Motor-motor dan mobil-mobil akan parkir di bahu jalan, mengambil jatah pengendara lain yang tengah melintas. Petugas parkir akan mengarahkan kendaraan-kendaraan ke area mana pun yang masih bisa diisi. Jika deretan motor dan mobil di bahu jalan sudah terlalu panjang, para tamu yang datang membawa kendaraan akan diarahkan ke halaman ruko yang sudah tidak beroperasi. Bagi petugas parkir andal, tidak ada istilah penuh.
Warung-warung tenda itu bergandengan siang-malam di batas kota; di titik yang menjadi penanda Kota Yogyakarta dan bukan-Kota Yogyakarta. Warung-warung tenda itu setia menunggu dan terbuka bagi siapa pun yang kelaparan, atau yang mencari tempat berdiam sementara.
Indah. Terasa indah.
Bila kita terbuai dalam alunan cinta ….
Sembari mengunyah tempe bacem dan nasi panas berkuah sayur bayam, Rio akhirnya mengangkat ponsel, menghentikan dering yang memerintah ia berhenti makan dan menjawab panggilan itu. Rio tidak senang diganggu saat makan. Waktunya kerja, ya kerja, makan, ya makan. Makanya, ada waktu istirahat kantor pada siang hari yang bisa dimanfaatkan para karyawan buat rehat sebentar. Buat tidak kerja sebentar. Buat makan sebentar.
Sialnya, Rio sadar dirinya pekerja. Pesuruh. Jika bos menyuruhnya kembali ke kantor, ia harus kembali ke kantor. Tidak peduli waktu istirahatnya masih tersisa. Tidak peduli makan siangnya belum tuntas. Pesuruh, ya pesuruh. Mau pakai kemeja rapi, celana merek mahal, potongan eksekutif muda, namanya pesuruh tetap saja pesuruh. Tidak bisa bebas melakukan apa yang pengin dilakukan. Bahkan, jam makan siang pun masih diinterupsi sama kerjaan.
Rio mendengus. Telepon barusan dari rekan di kubikel sebelahnya. “Pak Bos nyari kamu, Rio.” Rio bertanya kenapa dan rekannya cuma menjawab, embuh.
Rio menatap piringnya. Telur asin yang memang cuma setengah potong bahkan belum sempat tersentuh. Nasinya masih tersisa sebagian. Ini nasiku, belinya pakai duitku, Rio membatin. Ia lantas menyendok nasi dan lauk dan sayur banyak-banyak dan menjejalkan semua ke mulutnya dan mengunyah cepat-cepat. Kamu bosku, kamu boleh nyuruh-nyuruh aku, tapi kamu enggak bisa ngambil makananku. Pipi Rio membulat, penuh makanan yang belum sempat tertelan. Kedua tangannya terus menyendokkan isi piring dan menjejalkannya ke mulut.
“Hati-hati, Mas. Nanti keselek, lho.”
Rio menoleh ke kanan. Yang bicara dengannya seorang gadis. “Hum?”
“Nanti kesel—”
Tiba-tiba Rio terbatuk-batuk. Karena mengunyah terburu-buru, makanannya nyangkut di tenggorokan, membuat napasnya macet. Rio megap-megap dan terbatuk-batuk terus, berusaha meloloskan makanannya ke dalam perut.
Gadis itu dengan sigap mengambilkan air putih dari teko plastik di atas meja makan panjang dan memberikannya kepada Rio. “Minum dulu, Mas.”
Rio mengambil gelas itu, meneguk sampai tandas. Gadis itu menepuk-nepuk punggung Rio. Rio merasakan makanan yang tersangkut sudah meluncur lancar dan jatuh di dasar lambungnya. Ia meletakkan kembali gelas ke atas meja. Gadis itu menarik tangannya.
“Makan harus pelan-pelan,” kata gadis itu. “Harus dinikmati, enggak boleh buru-buru.”
Rio mengusap mulutnya seraya menunduk sopan.
Setelah keselek barusan, Rio kehilangan minat membersihkan isi piringnya. Ia memasukkan ponsel ke saku celana dan beranjak. Bosnya pasti sudah menunggu dan bakal panjang urusannya kalau ia bikin kesabaran bosnya habis.
“Pinten, Bu?”
“Biasa, Mas Rio.”
Rio merogoh saku celana bagian kanan, mengeluarkan kertas yang berlipat-lipat; nota fotokopi. Ia merogoh saku kiri dan mengeluarkan isinya. Cuma ada nota-nota lain. Asu, endi duitku? Rio merogoh saku di pantat. Ia tahu ia tidak bawa dompet. Ia selalu meninggalkannya di dalam tas karena tidak suka duduk dengan sebelah pantat terganjal dompet tebal yang isinya juga kebanyakan cuma nota dan kartu-kartu anggota yang jarang ia pakai.
Si gadis menoleh kepada Rio.
Setelah beberapa saat masih berkutat dengan saku-saku celana dan kemejanya, Rio mau tidak mau yakin bahwa ia ternyata lupa membawa selembar uang pun.
“Berapa, Bu?” Si gadis tiba-tiba sudah berdiri di sebelah Rio. “Punya masnya digabung aja sama saya.”
Ibu warteg melirik sejenak ke piring si gadis dan berhitung. “Dua puluh lima, Mbak’e.”
Si gadis membayar dengan uang pas. Ibu warteg menerimanya seraya mengucap matur nuwun, lalu memasukkannya ke kotak kayu kecil yang berfungsi sebagai mesin kasir. Si gadis menoleh ke Rio, dan sembari menyelipkan rambut panjangnya ke balik telinga, ia tersenyum.
Setelah itu, ia beranjak pergi.
“Ayu tenan, ya, Mas Rio,” kata ibu warteg seraya membereskan piring dan gelas dari meja makan kayu panjang dan membawanya ke tempat cuci, yang hanyalah sebuah baskom hitam berisi air keruh.