“Niz, kamu hari ini langsung pulang atau mau main dulu?”
Mata Nizwa langsung tertuju pada gadis berambut pendek yang duduk tepat di bangku depannya.
Senyum manis terus terukir di bibir Ilona membentuk bulan sabit sempurna yang tidak luntur meskipun di siang hari yang panas terik begini.
“Aku mau ketemu temenku dulu. Bukannya makan-makan pajak jadian kamu sama Bagas besok hari Sabtu, ya?”
Seolah-olah paham ke mana arah pertanyaan Ilona, Nizwa langsung saja ke poinnya. Waktu Nizwa tidak banyak, dia sudah ada janji bertemu dengan temannya dan tidak mau kalau sampai rumah terlalu sore.
Setelah minta pendapat Nizwa di hari Minggu itu, baru kemarin sore Ilona akhirnya resmi memberi kesempatan Bagas untuk menjadi pacarnya.
Sengaja kemarin pulang sekolah, Ilona dijemput Bagas. Keduanya ingin pergi berdua. Ilona ingin Bagas menyatakan perasaannya secara langsung, kalau lewat chat kurang afdal menurut Ilona.
Sebagai bukti kesungguhan perasaannya, Bagas pun bersedia. Sudah sejak SMP sebenarnya Bagas suka sama Ilona. Namun, dia masih terlalu takut untuk menyatakan perasaan karena tidak mau membuat Ilona risi.
Dan, Nizwa memilih tidak ambil pusing dengan kisah asmara Ilona. Asal Ilona bahagia dan tidak merebut kebahagiaan orang lain, dia akan selalu mendukung teman baiknya itu.
Selama menjalani hubungan pacaran dengan mantannya hingga memutuskan mengakhiri hubungan, Ilona sudah benar-benar berada di tahap lelah yang teramat.
Jadi, datangnya Bagas ke kehidupan Ilona yang notabenenya bukan orang baru memudahkan mereka berdua untuk mengenal lebih dalam.
“Iya, deh. Aku harus pulang cepet lho, Na. Motorku mau dipakai kakakku kerja soalnya. Motor kakakku masuk bengkel. Jadi, mau nggak mau, pakai motorku dulu.”
Prisa ikut nimbrung. Dari raut wajahnya terlihat jelas buru-buru sekali. Sudah panik lantaran takut kakaknya terlambat masuk kerja.
“Iya, Lona. Aku mau pergi sama Putra. Ibuku nitip dibelikan kain buat tambahan seragam kondangan sodaraku. Kamu jangan dadakan ganti-ganti jadwal dari yang udah disepakati, ya,” sahut Salmira. Nada bicaranya masih terdengar sabar.
“Tenang, Guys, tenang. Aku tanya Nizwa tadi, gara-gara aku perhatikan Nizwa akhir-akhir ini sering main sama hapenya. Apa ada yang disembunyikan dari kita gitu. Apa jangan-jangan teman yang kamu maksud tadi itu orang yang bikin kamu main hape terus, Niz?”
Mata Nizwa yang sedari tadi tertuju pada Ilona membulat. Ternyata Ilona memperhatikannya sedetail itu. Sedikit tidak percaya lantaran Ilona sendiri punya masalahnya sendiri, tetapi ternyata tetap memperhatikan gerak-geriknya.
Kepala Nizwa menggeleng pelan. Memang bukan dengan Kazan, dia janjian bertemu.
“Terus?” tanya Ilona yang terlihat raut wajahnya semakin penasaran.
Pernyataan Ilona juga entah mengapa menarik perhatian Salmira dan Prisa. Padahal, katanya mereka bisa dikatakan punya urusan yang harus buru-buru.
“Aku bakal cerita sama kalian waktu makan-makan pajak jadian kamu, Na. Maaf nggak bisa cerita sekarang. Aku duluan, ya. Nggak enak bikin anak orang nunggu lama.”
Lebih baik Nizwa yang mengakhiri percakapan di antara mereka. Ponsel Nizwa sudah ditelepon oleh teman yang janjian sama Nizwa mau bertemu di kafe dekat sekolah Nizwa.
Nizwa segera berlari keluar kelas setelah memastikan barang-barangnya tidak ada yang tertinggal. Di saat seperti ini, tidak enak kalau kebiasaannya kambuh. Selain itu, Nizwa juga belum siap kalau harus cerita tentang Kazan pada ketiga teman baiknya.
***
“Hai, maaf ya, bikin kamu nunggu lama. Salah sendiri sekolah kamu kalau hari Kamis pulangnya paling cepet dari sekolah-sekolah lain.”
Nizwa menyapa Devan dengan senyum ramah. Sengaja mengajak bercanda Devan untuk mencairkan suasana. Sudah membuat Devan menunggu, sebenarnya bukan salah Nizwa sepenuhnya.
Ya, hari ini Nizwa janjian bertemu dengan Devan. Teman yang Nizwa ceritakan pada ketiga temannya tadi adalah Devan. Devan yang mengajak Nizwa bertemu lantaran kesal pada gadis mungil itu yang cuek dan slow respon sekali membalas pesan darinya.
Nizwa langsung duduk di hadapan Devan tanpa menunggu dipersilakan. Kakinya pegal harus turun tangga dan berlari biar lebih cepat sampai di kafe. Meskipun di kata kafe tempat janjian dengan Devan dekat dengan sekolahnya, tetapi tetap saja kalau ditempuh jalan kaki sambil berlari berakhir capek.
“Nggak di chat, nggak ketemu langsung, slow respon terus. Sibuk banget atau sok sibuk, sih?”
“Sibuk banget. Lagian kamu juga nyebelin, Van. Ngajak ketemu kalau ada maunya doang. Sejak kamu pindah rumah, kita baru ketemu lagi hari ini, lho. Padahal, masih satu kota.”
Nizwa tahu maksud Devan mengajak bertemu untuk masalah apa. Apa lagi kalau bukan masalah Aghni. Sejujurnya, Nizwa tidak tahu menahu yang terjadi di antara mereka. Yang Nizwa tahu ketika sudah di puncak masalah.
Dan, tentu saja, Nizwa lebih banyak tahu dari sudut pandang Aghni. Karena mereka kenal lebih lama dan jauh lebih dekat ketimbang pertemanan Nizwa dan Devan.
“Terus juga kenapa ngajak ketemunya di hari di mana kamu pulang cepet? Mau gimana-gimana yang namanya nunggu itu membosankan, Van,” sambung Nizwa lagi untuk meluapkan kekesalannya.
“Iya, bener. Nunggu itu membosankan. Kayak aku nungguin temen kamu waktu itu, kapan sadarnya kalau aku beneran suka sama dia, Niz. Ya, walaupun sekarang aku udah bahagia sama pacarku, sih.”
“Eh, temen aku? Aghni?” tanya Nizwa yang sedikit terkejut.
Seolah-olah menonton drama yang ada plot twist-nya di tengah-tengah atau di akhir cerita. Sependek yang Nizwa tahu, Devan lah yang menyakiti hati Aghni.
“Iya. Aku boleh cerita versi dari aku nggak, Niz, sama kamu?”
Nizwa mengangguk. “Kamu ngajak ketemu aku mau cerita masalah kalian dulu?” tanya Nizwa yang tiba-tiba menjadi ragu.
“Iya. Soalnya aku berasa masih punya utang sama Aghni. Makanya aku chat kamu nanyain dia terus.”
“Tapi, masalah kalian juga udah lumayan lama. Masing-masing dari kalian udah punya pacar, Van.”