“Niz, kamu nggak lupa sama janji kamu, ‘kan?”
Nizwa menoleh ke arah temannya yang berambut pendek. Sedari jadian dengan temannya SMP, senyum manis selalu menghiasi wajahnya. Definisi akhirnya bisa lepas dari hubungan toxic lalu mendapatkan ganti yang jauh lebih baik.
Nizwa, Salmira, Prisa, dan Ilona sudah selesai makan siang ditraktir Ilona. Sebagai pajak jadian yang telah disepakati sebelumnya.
“Lona, baru juga kita selesai makan. Janji apaan, sih? Beneran kayak dikejar kang tagih utang akutu.”
Nizwa membalas senyuman manis Ilona dengan senyuman yang tidak kalah manis. Rasanya masih butuh waktu cerita tentang Kazan. Sebab, dia tidak enak dengan Salmira.
Sejak tahu bagaimana isi hati Salmira yang ternyata sudah mulai capek menjalani hubungan dengan Putra, Nizwa menjadi memiliki pemikiran bahwa hubungan romantis yang hampir setiap hari dipamerkan Salmira dan Putra tidak selalu mencerminkan isi hati mereka, terlebih isi hati Salmira.
Ternyata rasa capek, hambar, bahkan bosan bisa datang kapan saja tanpa peduli waktu sudah berapa lama menjalin hubungan.
“Sejujurnya aku juga penasaran sama kisah asmaramu deh, Niz. Belum pernah aku denger cerita kamu pdkt sama siapa gitu, palingan kamu dideketin terus kamu kabur karena nggak mau. Aku sampai sekarang masih kasihan sama temen kita yang kamu blokir nomornya. Padahal, dia baik banget sama kamu.”
“Aku yang jadi temen sebangku Nizwa sebanyak dua kali juga penasaran, Sal. Aku pun juga kasihan sama Vino nomornya sampai diblokir sama Nizwa. Bisa-bisanya kuat blokir nomor temen sendiri selama ini.”
“Aku, Salmira, Prisa, sering cerita ke kamu, Niz. Kenapa kamu kayak malu-malu cerita sama kita, sih? Gemes akutu sama kamu.”
Nizwa merasa terpojok. Bisa-bisanya cerita asmara gadis mungil itu membuat penasaran ketiga teman baiknya. Apa salahnya memilih diam dan lebih tertarik menikmati cerita mereka?
Lalu, mengapa harus bawa-bawa nama Vino? Sejujurnya pun, Nizwa tidak tega, tetapi bingung juga harus bersikap bagaimana. Sudah ditolak secara terang-terangan, tetapi entah mengapa Vino masih baik sekali kepadanya.
“Yang bikin kalian penasaran gara-gara apa, sih? Aku nggak pernah cerita tentang cowok yang deket sama aku karena kalau dideketin aku nggak mau. Kalian udah tahu itu.”
Dengan tenang Nizwa menjawab rasa penasaran teman-temannya. Tidak ada yang harus dijadikan bahan penasaran. Sebab, berteman hampir tiga tahun mereka sudah tahu.
“Tapi, Kazan kayaknya beda, Niz. Maaf ya, aku sebenarnya juga penasaran akhir-akhir ini kamu lumayan aktif main hape. Aku sengaja ngintip waktu kalian chattingan,” aku Prisa sambil nyengir kuda. Ekspresi wajahnya lebih banyak cengengesan ketimbang rasa bersalah.
“Iya, aku tahu Kazan dari Prisa. Makanya, aku tanya, Niz. Berharap kamu cerita ke kita tentang Kazan-Kazan itu,” sahut Ilona.
Entah mengapa Ilona yang paling terlihat sekali penasaran tentang cerita Kazan. Padahal, kalau diceritakan juga bingung ada hikmah yang bisa diambil atau tidak dari cerita Nizwa nantinya.
Mata Nizwa melotot ke arah teman sebangkunya yang kebetulan duduk di sampingnya. Bisa-bisanya ngintip orang yang lagi chattingan. Teman-Teman Nizwa tahu semua lho, bagi Nizwa chat itu privasi.
“Jangan marahin Prisa, Niz. Kamu kenapa nggak cerita tentang Kazan sama kita, sih? Tinggal cerita aja, apa repotnya?”
“Repotnya karena aku sama Kazan cuma temen virtual. Jadi ya, nggak mungkin ceritaku bisa sama kayak kalian.” Nizwa dengan cepat menjawab rasa penasaran ketiga teman baiknya itu. Agak kesal sedikit, berharap tidak terdengar dari nada bicara Nizwa.
“Cieee cieee ... Udah kenal berapa lama kalian, Niz? Dia anak baik, ‘kan?” Salmira bertanya. Matanya terus menatap Nizwa.
“Dua bulanan ini lah kira-kira, Sal. Aku juga nggak ngitungin. Mudah-mudahan baik, ya. Soalnya selama dua bulanan ini, dia nggak ada aneh-aneh.”
“Akhirnya ada yang berhasil merobohkan tembok cintanya Nizwa, Ya Tuhan. Cieee ... Nizwa akhirnya suka sama cowok.” Ilona menyahut ikut kegirangan.
“Eh apa kamu ngira selama ini aku suka sama cewek, Na?” tanya Nizwa yang sadar sekali mendengar ada yang salah dari kalimat yang diucapkan Ilona.
“Bukan gitu, Niz. Duh gimana ya jelasinnya,” sahut Ilona secepat kilat supaya Nizwa tidak salah paham.
“Aku tahu maksud kamu, Lona. Aku cuma bercanda. Lagian aku sama Kazan juga cuma temen lho, bedanya ya aku sekarang punya temen chattingan cowok gitu.”
Masih berusaha sekuat tenaga supaya ketiga temannya tidak salah paham. Nizwa tidak ingin disangka pacaran. Toh, hubungannya sama Kazan memang hanya teman biasa.
“Ya nggak papa, Niz. Yang penting sekarang kita udah tahu kamu lagi chattingan sama siapa. Mau kedepannya gimana, serahin sama Tuhan aja.”
“Betul yang dibilang Prisa. Aku dukung kamu, Niz. Apa pun pilihan kamu, asal itu baik untuk semuanya. Biasanya alurnya emang temenan dulu terus lebih gitu,” goda Ilona cengengesan.
“Nggak ada yang bakal jadian sama Kazan. Aku sama dia bakal tetep temenan sampai kapan pun, Lona.”
Senyum manis menghiasi wajah Nizwa. Dari ketiga temannya, Ilona lah yang paling lucu sekaligus menyebalkan.
Nizwa tahu ucapan dan harapan bisa menjadi doa. Namun, berdoa untuk kedepannya bisa menjadi dekat sekali dengan Kazan belum pernah terpikirkan oleh Nizwa.
“Oke lah. Sepertinya kamu kurang nyaman kita korek-korek tentang Kazan ya, Niz?” tanya Salmira.
“Sebenarnya biasa aja. Tapi, aku harap kalian jangan sampai berekspektasi aku bakal punya hubungan lebih dari temen sama Kazan. Aku sama dia cuma temen virtual, yang nggak tahu kedepannya bakal ada rencana atau kesempatan buat ketemu langsung atau nggak.”
Nizwa menjelaskan dengan sangat sabar. Mengontrol diri supaya maksudnya diterima dengan baik oleh Salmira, Prisa, dan Ilona.
“Oke lah. Tapi, sebelum kita mengakhiri pembahasan tentang kamu dan Kazan. Aku mau tanya sama kamu, Niz,” kata Ilona.
“Tanya apa, Lona?” Nizwa mengalihkan pandangannya ke arah Ilona.
“Kazan sekolah di mana? Masih satu kota sama kita, ‘kan?”
Nizwa mengangguk. “Iya masih. Sekolahnya di mana boleh kan ya rahasia dulu.”
“Sip lah, nggak papa, senyamannya kamu aja. Terima kasih sudah menjawab rasa penasaran kita, Nizwa.”
“Sama-sama, Ilona. Bisa disimpulkan biasa aja ‘kan hubunganku sama Kazan?”
Nizwa bernapas lega bisa menjawab rasa penasaran ketiga teman baiknya tanpa terlihat kesal. Senang juga, Salmira, Prisa, dan Ilona memberi respon sesuai harapan Nizwa.
“Untuk saat ini iya sih. Tapi, kita tunggu aja kedepannya gimana. Mudah-mudahan Kazan emang beneran anak baik.”
“Amin.” Prisa mengaminkan ucapan baik Salmira.
“Selesai ya cerita dari aku. Jangan penasaran lagi. Aku berasa disidang sama kang tagih utang, tau nggak?” keluh Nizwa dengan nada bercanda.
“Kang tagih utangnya cantik-cantik pasti nggak bikin kamu takut sih, Niz,” ledek Ilona sepertinya sadar diri bahwa dia adalah penyebabnya Nizwa harus bercerita tentang Kazan.
“Iya nggak takut, tapi jujur aja tetep kesel. Seharusnya sekarang yang kita bahas itu kamu, Lona. Hari ini pajak jadian kamu juga.”
“Nggak mesti dan nggak harus melulu bahas hubunganku, Niz. Dari kita berempat, perasaan aku mulu yang curhat tentang hubunganku.”
“Soalnya hubunganmu sama mantan kamu sebelumnya emang harus kamu ceritain ke kita, Na. Aku khawatir gimana tersiksanya kamu kalau nggak cerita sama kita,” ucap Prisa.
“Betul. Aku salut sama kamu yang berani terbuka sama kita. Biasanya orang-orang kalau terjebak dalam hubungan nggak sehat, ada aja yang denial.”
Pandangan Nizwa langsung tertuju pada Salmira. Nizwa berharap Salmira tidak terjebak dalam hubungan toxic. Nada bicara Salmira terdengar berubah. Semoga Salmira tidak sedang mencurahkan isi hatinya secara tersirat.
“Iya soalnya aku percaya sama kalian. Mau janji nggak, kita bakal berteman sampai punya anak kalau bisa sampai punya cucu cicit sampai keturunannya lah.” Mata Ilona berkaca-kaca.
“Boleh!” ucap Nizwa, Salmira, dan Prisa.
Tangan Ilona terbuka lebar. Keempat teman baik itu berpelukan seperti teletubies.