From: Kazan
[Niz....]
To: Kazan
[Iya, Zan. Ada apa?]
Nizwa sedang asyik menunggu salah satu teman baiknya latihan paskibra. Dia duduk di pinggir lapangan di tempat yang paling teduh. Cuaca hari ini lumayan panas.
Rencananya hari ini, Nizwa pulang diantar Ilona. Jadi, mau tidak mau, Nizwa harus menunggu temannya itu sampai selesai latihan paskibra.
Meskipun, Ilona bisa dibilang manja tetapi semangatnya mengikuti ekstrakurikuler paskibra selalu membara. Setiap ada latihan, Ilona selalu mempersiapkan semuanya sebaik mungkin.
Hari sudah sore, tetapi suasana sekolah masih cukup ramai. Selain ada kegiatan latihan paskibra, juga terlihat beberapa anggota OSIS yang masih sibuk di sekolah.
From: Kazan
[Niz, kamu tahu nggak cewek itu paling suka dikasih apa? Aku tanya kamu karena di antara temen cewek, kamu yang bisa dibilang jawabannya bakal serius….]
To: Kazan
[Jujur sebenarnya aku nggak terlalu paham. Pengetahuanku tentang kayak gini bukan dari pengalaman pribadi. Gimana? Masih mau tanya sama aku?]
Nizwa segera memasukkan ponselnya ke dalam saku baju seragamnya. Pikirannya sudah ke mana-mana. Antara Kazan mau memberi kado untuk gebetannya satu kelas atau untuk adiknya.
Lebih baik Nizwa mengalihkan perhatian ke sekitarnya. Pesan teks dari Kazan bisa dibalas nanti di rumah. Berabe kalau Ilona banyak tanya saat tahu suasana hati Nizwa berubah.
“Nungguin Lona latihan paskib, Niz?”
Nizwa melirik ke samping kanannya. Kakak kelasnya yang sudah lulus tahun kemarin duduk di sampingnya. Matanya memperhatikan anak-anak ekskul paskibra yang sedang latihan.
Wajah kakak kelasnya Nizwa ini sering nongol di kalender sekolah karena prestasi dan gantengnya (katanya). Jadi, Nizwa tidak merasa asing.
“Iya,” jawab Nizwa.
“Pulang bareng Lona, ya?”
“Iya,” jawab Nizwa sambil mengalihkan pandangannya ke arah Ilona latihan paskibra.
“Bener kata Lona, kamu dingin banget. Padahal cuacanya lagi panas, kenapa kok nggak meleleh, ya?”
Nizwa mengatur napasnya. Baru kali ini, Nizwa mengobrol empat mata dengan kakak kelasnya itu. Selama masih sekolah dulu, Nizwa tidak up to date dengan kabar dan prestasi kakak kelasnya itu. Baginya, kakak kelasnya itu manusia biasa sama seperti yang lain. Jadi, tidak perlu terlalu dikagumi sampai yang berlebihan.
“Kakak ke sekolah lagi pasti ada urusan, ‘kan? Lebih baik Kakak cepet selesaiin urusan Kakak. Keburu hari semakin sore.”
“Kalau urusanku mau ketemu kamu, gimana?” tanya kakak kelas Nizwa yang bernama Beni itu.
“Ada urusan apa Kakak sama aku?” Nizwa bertanya balik. Dia memberanikan diri menatap Beni yang ternyata sudah menatapnya. Pandangan mata keduanya bertemu.
“Aku sengaja ke datang sekolah sore ini, pengen ketemu sama kamu. Kata Lona, kamu hari ini pulang bareng dia. Mumpung udah selesai kelas, aku sempetin ke sini.”
“Pengen ketemu sama aku, ada perlu apa ya, Kak?” tanya Nizwa terus membalas tatapan mata kakak kelasnya itu. Entah mendapat sumber kekuatan dari mana dia berani melakukannya.
“Aku boleh minta nomor kamu, Niz? Aku dari dulu udah minta nomor kamu sama Lona tapi nggak pernah dikasih.”
“Kata Lona, aku disuruh minta sendiri. Kamu galak katanya, kalau dideketin cowok yang kamu nggak suka, nomornya kamu blokir,” sambung Beni.
“Minta nomorku buat apa, Kak?”
“Aku pengen kenal sama kamu lebih dekat. Aku udah lama merhatiin kamu. Boleh ‘kan aku minta nomormu, Niz?”
Kepala Nizwa menggeleng. “Yang dikatakan Lona bener, Kak. Aku galak. Buat apa mau kenal lebih deket sama orang galak kayak aku?”
Beni dulu ikut ekstrakurikuler paskibra dan anak OSIS juga. Mungkin tahu Nizwa karena beberapa kali menemani Ilona latihan. Atau, mungkin saat pramuka. Nizwa hanya ikut ekstrakurikuler pramuka di sekolahnya karena wajib. Atau, lebih baik nanti setelah Ilona selesai latihan paskibra, Nizwa akan bertanya langsung.
“Tapi, aku perhatikan kamu selama ini, kamu nggak ada galak-galaknya. Kamu anak baik yang ramah dan ceria.”
“Kakak berarti lihatnya aku waktu lagi pakai topeng. Lona yang ketemu aku hampir setiap hari aja, bilang aku galak.”
“Galak kalau sama cowok yang pengen kenal deket sama kamu tapi kamu nggak suka-”
“Aku nggak suka sama Kakak,” ucap Nizwa sengaja memotong kalimat Beni.
Nizwa tahu itu tidak sopan. Namun, dia mulai merasa tidak nyaman.
“Emang tipe cowok kamu kayak gimana, Niz?” tanya Beni semakin penasaran dengan gadis yang duduk di sampingnya.
“Tipe cowokku yang pinter tapi jangan populer. Dari tadi, aku sama Kakak dilihatin sama siswa-siswa. Aku nggak nyaman, Kak."
Nizwa mengeluarkan unek-uneknya. Seandainya tadi dia sadar kedatangan kakak kelasnya itu, Nizwa pasti sudah pindah tempat duduk.
“Kalau kamu nggak nyaman. Aku bakal pergi, Niz. Tolong izinkan aku berjuang dapetin kamu, ya. Aku udah suka sama kamu dari dulu.”
Nizwa mengalihkan pandangannya ke depan saat Beni pergi. Rasa bersalah tiba-tiba hinggap di hatinya. Namun, segera dia tepis. Tidak ada yang salah dari sikapnya, Nizwa sudah tegas dengan mengatakan tidak suka dengan Beni. Mau bagaimana respon Beni, di luar kendali Nizwa.
“Cie … cie … habis ngobrol sama Kak Ben, Niz?” sapa Ilona yang sudah selesai latihan paskibra lalu duduk di samping Nizwa. Napasnya terengah-engah, keringat membasahi wajah cantiknya.
“Minum dulu.” Nizwa memberikan botol minum Ilona. Tas Ilona lebih dekat dengan posisi duduknya.
“Aku salut sama kamu. Hari ini bagiku panas banget, tapi kamu tetep latihan dengan serius,” ucap Nizwa berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Kalau nggak serius gimana ngasih contohnya ke adik kelas? Bentar lagi aku juga harus istirahat biar fokus ujian.”
Ilona memberikan botol minumnya pada Nizwa. Lalu, Nizwa memberikan handuk kecil pada Ilona.
“Salut sama anak-anak paskib. Totalitas banget, keren!” puji Nizwa tulus.
“Harus!” Ilona mengatur napasnya. “Tadi ngobrol apa sama Kak Ben, Niz?” tanyanya yang ternyata tidak lupa dengan topik pembicaraan tentang Beni.
“Kamu ngapain bilang sama Kak Beni kalau aku pulang sama kamu, Na? Kak Beni emang tahu namaku ya, Na? Apa dari kamu, Na?” tanya Nizwa masih berusaha sabar.
“Kak Ben beberapa hari ini nanyain kamu lagi. Mumpung, kita pulang bareng ya udah aku kasih tahu aja. Dari awal kita masuk sekolah ini Kak Ben udah tahu namamu, Niz."
"Nanyain aku lagi? Perhatian banget Kak Beni, udah tahu namaku dari awal masuk sekolah ini."
"Iya, emang. Sebenarnya udah lumayan lama dan sering Kak Ben nanyain kamu, Niz. Tapi, aku nggak berani cerita sama kamu. Baru sekarang Kak Ben berani deketin kamu secara langsung."
“Kak Beni minta nomorku. Tapi, nggak aku kasih. Makasih udah jujur sama Kak Beni kalau aku galak, Na,” jawab Nizwa berusaha melihat sisi baik salah satu teman baiknya itu.
Belajar dari pengalaman sebelumnya, daripada berasa dikejar kang tagih utang karena membuat Ilona penasaran, lebih baik dijawab dengan jujur dan secepatnya.
"Kamu nggak marah sama aku, 'kan?"
"Nggak, biasa aja, Na," jawab Nizwa tidak ingin memperpanjang masalah.
“Niz, kamu nggak mau nyoba buka hati buat cowok gitu?” Nada bicara Ilona terdengar serius. Perasaan lega terpancar dari wajahnya karena Nizwa tidak marah.
“Buat Kazan udah, ‘kan?”
“Selain Kazan. Kamu aja nggak yakin bisa ketemu sama Kazan di dunia nyata. Apa yang kamu harapkan dari teman virtual, Niz?”
Nizwa diam. Pertanyaan Ilona mengusik perasaan dan pikirannya. Matanya tidak sengaja bertemu dengan mata Beni yang sedang berdiri memperhatikannya dari lantai dua sekolahnya. Segera Nizwa mengalihkan pandangannya.
“Kak Beni terlalu populer, Na. Aku sama dia nggak setara. Lebih nggak mungkin bisa bareng-bareng, ‘kan?” jawab Nizwa tidak kalah serius.
“Setidaknya Kak Ben nyata, Niz. Kalian ketemu langsung. Kak Ben udah sering nanyain kamu dari dulu. Aku takut bikin kamu nggak nyaman. Makanya, aku bilang kamu galak. Tapi, dia masih aja nanyain kamu.”
“Aku pikirin dulu ya, Na. Kamu udah cukup belum istirahatnya?” Nizwa ingin segera mengakhiri topik obrolan tentang Beni. Bakal bisa dibahas sama Ilona sampai besok lusa kalau dia tetep ngeyel.