“Putra nggak ada di kos!” seru Salmira saat sampai di depan indekos Putra. Lalu, tangannya sibuk mengetik di ponselnya.
“Lah? Katanya sakit kok nggak ada di kos?” tanya Nizwa sedikit menaikkan nada bicaranya.
Meskipun sekolah pulang lebih awal tetapi tetap saja rasanya capek. Jadwal pelajaran hari ini adalah matematika dan kimia. Dua mata pelajaran yang membuat kepala Nizwa mendidih. Dan, jika harus ditambah dengan masalah Salmira dan Putra rasanya ingin marah-marah saja.
“Coba masuk dulu gimana? Itu ada motornya Putra di parkiran.”
“Putra bilang dia ke rumah sakitnya dianterin temen kosnya, Na. Makanya, motornya ada di kos.”
“Drama banget pacar orang! Beneran bersyukur, aku nggak punya pacar kalau kayak gini.”
“Niz, jangan ngomong gitu dong. Ini di luar prediksi aku,” ucap Salmira.
“Coba masuk dulu aja nggak sih? Siapa tahu Putra lagi di kamarnya ngemil pop corn nontonin kalian berdua berantem.” Ilona menengahi percakapan kedua teman baiknya.
“Boleh. Bisa dicoba dulu saran dari Lona. Maaf aku jadi galak, Sal. Udah males kalau endingnya drama gini.” Nizwa berusaha mengalah meskipun perasaan dongkol masih menguasai hatinya.
“Emang komunikasi kamu sama Putra gimana sih, Sal? Kok sampai Putra nggak di kos kamu nggak tahu?” tanya Ilona.
“Komunikasi baik. Waktu aku ngabarin otw ke kosnya ternyata dia bales kalau lagi nggak di kos, Na. Tapi, aku nggak tahu kenapa, feelingku sebenarnya dia di kos tapi nggak mau keluar, takut ketahuan bohong.”
“Lah, kamu gimana sih, Sal? Tadi aku nggak boleh galak, tapi kamu malah mikir negatif. Alasannya Putra ke mana, Sal?” tanya Nizwa supaya tidak terkesan cuek dan galak.
“Ke rumah sakit itu tadi, Niz. Ya habisnya pernah dibohongin. Aku juga sebenarnya udah males sama dramanya,” jawab Salmira.
“Nah, suka aku kalau kamu mode sadar gini. Harusnya Nggak usah balikan aja. Kamu coba masuk dulu aja, Sal,” kata Nizwa.
“Hai, bertiga yang masuk. Jangan cuma Salmira,” sahut Ilona.
Setelah memarkirkan motor di luar gerbang indekos, ketiga teman baik itu masuk ke indekos Putra. Mereka berpapasan dengan salah satu penghuni indekos yang hendak keluar. Salmira memberanikan diri bertanya karena mereka sudah pernah bertemu sebelumnya.
“Mas, maaf mau tanya, Putra ada di kamarnya nggak, ya?”
“Aku dari tadi belum lihat dia keluar kamar, Mbak.” Penghuni itu memperhatikan sekelilingnya. “Motornya ada di kos. Seharusnya ada di kamarnya,” sambungnya.
“Putra lagi demam ya, Mas?” tanya Ilona.
“Wah nggak tahu kalau itu, Mbak. Aku sejak tadi malam belum ketemu Putra, soalnya nggak nyari makan malam bareng.”
“Makasih ya, Mas,” ucap Salmira.
“Sama-sama, Mbak. Ketok aja pintu kamar Putra kayak biasanya. Aku pergi dulu, ya.”
Indekos Putra bisa dibilang indekos yang bebas. Namun, meskipun begitu, tetap ada jam malam yang kalau dilanggar, penghuninya tidak akan dapat izin masuk. Penjaga indekosnya masuk kategori galak alias disiplin dan tegas.
Putra adalah anak rantau yang memilih tinggal di indekos dengan alasan ingin belajar mandiri daripada harus tinggal di rumah saudaranya.
Sudah beberapa kali mengetuk pintu kamar indekos Putra, tetapi hasilnya nihil. Tidak ada respon dari pemilik kamar seperti yang diharapkan mereka.
“Katanya Putra di rumah sakit mana, Sal?” tanya Ilona dengan suara pelan.
Salmira mengecek ponselnya lagi untuk memastikan supaya tidak salah. “Rumah Sakit Harapan Sehat,” jawabnya.
“Ya udah, kita cari ke sana aja. Siapa tahu ketemu,” usul Ilona.
Usul dari Ilona direspon dengan anggukan oleh Salmira. Sementara, Nizwa memilih diam dan ikut saja apa pun usul dan keputusannya.
Lebih baik Nizwa mengontrol dirinya sendiri supaya tidak marah-marah. Sudah lelah menghadapi drama yang dibuat oleh pacar teman baiknya itu.
‘Baru pacaran aja udah merepotkan begini. Mudah-mudahan Salmira dapat jodoh yang lebih baik dari Putra,’ batinnya berteriak.
***
Nizwa memperhatikan Salmira yang sedang terduduk lemas di hadapannya. Sudah disusul ke rumah sakit pun tetap tidak ada hasil. Nama Putra tidak ada di daftar pasien, sekarang nomornya tidak aktif. Mungkin, ponselnya sengaja dinonaktifkan.
Mereka sedang istirahat di penjual es kelapa muda untuk sekadar melepas dahaga. Cuaca yang panas cocok sekali jika dilawan dengan es kelapa muda.
“Sal, kamu minum dulu, ya,” ucap Nizwa yang akhirnya kasihan juga pada teman baiknya itu.
Dari tiba sampai es kelapa muda punya Nizwa dan Ilona hampir habis, es kelapa muda punya Salmira belum tersentuh sama sekali. Salmira juga cuma diam saja memperhatikan jalan raya di hadapannya. Kalau sudah begini siapa yang tidak khawatir?
“Aku nggak mau, Niz. Putra kenapa dari dulu egois banget sih? Aku pengen udahan aja, tapi aku nggak tega melepas dia kalau masih kekanak-kanakan begini,” keluh Salmira. Penampilannya yang biasanya rapi dan cantik sekarang terlihat berantakan hanya gara-gara seseorang bernama Putra.
“Aku yang denger ceritamu aja capek, Sal. Kamu hebat banget. Hubungan hampir dua tahun, tapi baru cerita akhir-akhir ini.”
“Aku nggak mau menyanggah lagi, Na. Hubungan aku sama Putra emang udah nggak sehat. Dan, aku udah nggak kuat nanggung sendirian.”
Nizwa segera pindah tempat duduk. Dia memeluk Salmira yang mulai menangis. Pasti lelah sekali menjadi Salmira. Yang Nizwa tahu, Salmira adalah sosok gadis yang dewasa. Namun, sedewasa-dewasanya Salmira, Salmira tetaplah manusia biasa yang bisa menangis di saat sudah merasa tidak sanggup.
“Sal, kamu tenang, ya. Tuhan bakal ganti kesedihan kamu dengan bahagia yang tiada tara. Pelangi akan muncul di langit setelah hujan. Lepaskan semua sesak di dadamu.”
Nizwa mengusap punggung Salmira untuk menenangkan sekaligus memberi semangat. Merasa menyesal tadi sudah marah-marah pada Salmira padahal penyebabnya adalah Putra.
Setelah Salmira merasa tenang, ketiga teman baik itu memutuskan pulang. Salmira memilih untuk mendiamkan Putra. Dia berjanji pada Nizwa dan Ilona akan kembali ceria seperti sedia kala.
***
From: Kak Beni
[Niz, kamu lagi apa?]
To: Kak Beni
[Lagi istirahat, Kak.]
From: Kak Beni
[Hari ini capek banget ya, Niz? Kata Lona kalian habis muter-muter kota. Pantes chatku yang tadi pagi sama siang nggak kamu bales.]
To: Kak Beni
[Iya, Kak.]
Nizwa sedang rebahan di kamarnya malam ini. Dia tidak belajar dulu karena otaknya sudah lelah. Seharian muterin kota cuma untuk mencari keberadaan orang ternyata secapek ini.
Beni sudah tidak membalas pesan dari Nizwa. Dia memang sengaja cuek supaya Beni menyerah. Dengan Beni, Nizwa merasa tidak setara. Khawatir jika disangka memberi harapan.
To: Kazan
[Zan.]
Nizwa memutuskan menghubungi Kazan. Biasanya kalau sudah chattingan sama Kazan, moodnya yang tadinya amburadul bisa kembali cantik.
From: Kazan
[Hai, Niz….]
Baru mendapatkan balasan dari Kazan, bibir Nizwa tersenyum tipis. Senyum yang tadi seharian seperti ditelan bumi sekarang samar-samar muncul lagi.
To: Kazan
[Aku capek banget, Zan. Bisa minta tolong hibur aku?]
From: Kazan
[Capek kenapa, Niz? Kamu habis mendaki gunung lewati lembah sambil koprol?]
Senyum di bibir Nizwa mulai terbentuk lagi. Kazan seperti obat yang menyembuhkan mood buruknya.